Entri Populer

Kamis, 02 Juni 2011

Kaidah Hukum dan Sosial


                                                                       Kaidah Hukum dan Sosial

Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Pola-pola berfikir manusia dalam pergaulannya mempengaruhi sikap manusia itu sendiri, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu kepada manusia lain, atau terhadap benda maupun keadaan-keadaan yang ada disekitarnya. Sikap-sikap manusia inilah yang membentuk kaidah-kaidah untuk mengatur manusia agar hidup teratur dan pantas. Kaidah-kaidah ini merupakan patokan atau pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyrakat.
Di satu pihak kaedah-kaedah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, yang terdiri dari kaidah kepercayaan atau agama dan kaidah kesusilaan. Di lain pihak ada kaida-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaedah hukum. Kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah-kaidah lainnya, karena mengatur kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang ada di dalam pergaulan hidup manusia. Tetapi secara empiris merupakan suatu hal yang wajar apabila kaidah-kaidah hukum ada perbedaan dengan prilaku manusia yang nyata.
Hal ini dikarenakan kaidah hukum merupakan pedoman tentang prilaku manusia yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola prilaku manusia. Setip masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar prilakunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun tidak untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarajat yang bersangkutan.[1]  Menurut Bronislaw Malinowski dalam  penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobiand dari Melanasia kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1926), menyatakan inti sari hukum adalah terjalinnya prinsip resiprositas. Dia berkata bahwa:
The rules of law stand out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations or one person and the rightful claims or another. They are sanctioned not by a mere psycological motive, but by a definite social machinery of binding force, based................. upon mutual depndence, and realized in the equivalent arrangement of reciprocal serices.[2]
Selanjutnya dia berpendapat bahwa: law is spesific result of the configuration of obligations, which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future.[3]Analisis dari Malinowski tersebut telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh dengan kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari dalam pergaulan hidup manusia. Hukum bukan semata-mata berupa paksaan tetapi merupakan jalan untuk mengemukakan suatu sitem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Selain itu hukum juga dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat agar hukum itu dapat dilaksanakan oleh masyarakat.[4]
Menurut H. L. A. Hart, konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum itu sendiri. Menurutnya inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder. Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informil tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Ada kemungkinan dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang stabil di mana para warga negaranya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain.[5] Tetapi dengan perkembangan zaman yang terjadi menyebabkan semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Dengan demikian diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
1.      rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dean dimana perlu menyusun sturan-aturan tadi secara hierarki menurut urut-urutan kepentingannya;
2.      rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
3.      rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.[6]


[1] J. S. Roucek, Social Control, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-2 (Jakarta: rajawali, 1983), hal. 68.
[2] Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, dalam soerjono soekanto, loc.cit. hal. 69.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] H. L. A. Hart, The Concept of Law, dalam Ibid.,
[6] Ibid., hal. 72.

A.      Kaidah Hukum dan Sosial
Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Pola-pola berfikir manusia dalam pergaulannya mempengaruhi sikap manusia itu sendiri, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu kepada manusia lain, atau terhadap benda maupun keadaan-keadaan yang ada disekitarnya. Sikap-sikap manusia inilah yang membentuk kaidah-kaidah untuk mengatur manusia agar hidup teratur dan pantas. Kaidah-kaidah ini merupakan patokan atau pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyrakat.
Di satu pihak kaedah-kaedah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, yang terdiri dari kaidah kepercayaan atau agama dan kaidah kesusilaan. Di lain pihak ada kaida-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaedah hukum. Kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah-kaidah lainnya, karena mengatur kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang ada di dalam pergaulan hidup manusia. Tetapi secara empiris merupakan suatu hal yang wajar apabila kaidah-kaidah hukum ada perbedaan dengan prilaku manusia yang nyata.
Hal ini dikarenakan kaidah hukum merupakan pedoman tentang prilaku manusia yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola prilaku manusia. Setip masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar prilakunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun tidak untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarajat yang bersangkutan.[1]  Menurut Bronislaw Malinowski dalam  penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobiand dari Melanasia kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1926), menyatakan inti sari hukum adalah terjalinnya prinsip resiprositas. Dia berkata bahwa:
The rules of law stand out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations or one person and the rightful claims or another. They are sanctioned not by a mere psycological motive, but by a definite social machinery of binding force, based................. upon mutual depndence, and realized in the equivalent arrangement of reciprocal serices.[2]
Selanjutnya dia berpendapat bahwa: law is spesific result of the configuration of obligations, which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future.[3]Analisis dari Malinowski tersebut telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh dengan kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari dalam pergaulan hidup manusia. Hukum bukan semata-mata berupa paksaan tetapi merupakan jalan untuk mengemukakan suatu sitem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Selain itu hukum juga dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat agar hukum itu dapat dilaksanakan oleh masyarakat.[4]
Menurut H. L. A. Hart, konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum itu sendiri. Menurutnya inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder. Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informil tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Ada kemungkinan dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang stabil di mana para warga negaranya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain.[5] Tetapi dengan perkembangan zaman yang terjadi menyebabkan semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Dengan demikian diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
1.      rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dean dimana perlu menyusun sturan-aturan tadi secara hierarki menurut urut-urutan kepentingannya;
2.      rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
3.      rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.[6]


[1] J. S. Roucek, Social Control, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-2 (Jakarta: rajawali, 1983), hal. 68.
[2] Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, dalam soerjono soekanto, loc.cit. hal. 69.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] H. L. A. Hart, The Concept of Law, dalam Ibid.,
[6] Ibid., hal. 72.

Kebijakan Resosialisasi Prostitusi


                                           Kebijakan Resosialisasi Prostitusi

Masalah prostitusi sebagai salah satu fenomena sosial pada saat ini begitu sulit untuk di atasi oleh pemerintah. Di mana prostitusi itu bermakna sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[1] Fenomena ini telah menimbulkan keresahan masyarakat. Fenomena prostitusi bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di tiap negara di dunia, ini mengingat secara harfiah fenomena prostitusi muncul bersamaan dengan adanya masyarakat. Masyarakat seolah-olah sudah memiliki semacam kesepakatan ini, yaitu memberikan warna hitam terhadapnya, kehidupan yang berlumpur dan bernoda yang dikutuk masyarakat. Tetapi disisi lain, dilihat dunia pelacuran menjanjikan sejuta impian. Impian yang harus ditebus dengan cara yang total oleh wanita-wanita yang ingin mewujudkannya dalam mempertahankan realitasnya dan keluarganya. Sementara para ahli ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini kedalam “Patologi Sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya.
Prostitusi ini menimbulkan dampak yang besar kepada masyarakat karena secara langsung maupun tidak langsung prostitusi menimbulkan keresahan masyarakat. Keresahan masyarakat ini muncul karena prostitusi dapat mengganggu kesehatan masyarakat (menimbulkan IMS=Infeksi Menular Seks), namu dengan demikian menurut J. Verkuyl bahwa: “Kita melarang pelacuran, tetapi sebaliknya kita dapat terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan”.
Prostitusi merupakan dilema sosial yang universal yang juga dihadapi oleh Indonesia dimana KUHP tidak berdaya untuk diterapkan terhadap prostitusi, karena sangat minim dan sederhana sekali kaidah-kaidah yang berhubungan dengan masalah prostitusi. Pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai prostitusi hanya tiga pasal yaitu Pasal 296 KUHP, Pasal 297 KUHP dan Pasal 506 KUHP dan kenyataan mengenai KUHP sendiri tidak secara tegas mengancam hukuman pidana kepada si pelacur. Pemerintah Indonesia hingga saat ini pun jika dilihat dari realita yang ada sebenarnya belum mampu untuk menanggulangi masalah prostitusi, meskipun pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian fenomena sosial prostitusi. Untuk menanggulangi permasalahan prostitusi pemerintah harus mengeluarkan suatu kebijakan mengenai permasalahan ini, kebijakan tersebut harus dilandasi wewenang yang dimiliki oleh pemerintah tersebut. Kebijakan pada dasarnya adalah oprasionalisasi dari kewenangan artinya kebijakan itu hasil dari tindakan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Terdapat 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat menurut H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:

1. attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);
2.    delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan door een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dai satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);
3.      mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[2]

Ditinjau dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa : Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Dalam hal ini yang menjadi kewenangan pemerintah pusat menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kemudian yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.        fasilitas pengembangan koprasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.    pelayan administrasi umum pemerintahan;
n.      pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p.      urusan wajib lainnya yangh diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewenangan Pemerintahan daerah kabupaten/kota menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan kepentingan umum dan ketentraman sosial;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       pemyelenggaraan pendidikan;
g.      penaggulangan masalah sosial;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.        fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.        penegndalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan;
l.        pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m.    pelayanan administrasi pelayanan modal;
n.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan dalam penanganan masalah protitusi ini kemudian diimplementasikan ke dalam sebuah kebijakan publik yaitu keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.[3] Kaitannya dengan kebijakan resosialisasi prostitusi adalah bahwa mengenai kebijakan ini bukanlah menjadi urusan pemerintah pusat melainkan urusan pemerintah daerah, karena kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Hal ini mungkin bahwa pembuat undang-undang memahami si pelacur seolah justru sebagai korban situasi atau keadaan. Alasan tersebut di ataslah yang menyebabkan berbagai kota besar di Indonesia atas persetujuan Pemerintah Daerahnya mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pelacuran.


[1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, loc.cit.
[2] H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-2 (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal. 74.

Nasibmu Ariel??


Nasibmu Ariel??
Oleh : Ginanjar Saputra

Pertengahan tahun 2010 Indonesia kembali diguncang kasus yang membuat headline di media cetak dan elektronik. Kasus tersebut bukan hanya mengguncang Indonesia tetapi luar negeri pun ikut memperhatikan kasus tersebut. Kasus tersebut adalah adegan cumbu ria antara orang yang diduaga Ariel “Peterpan” dengan dua artis cantik di Indonesia, yaitu Luna Maya dan Cut Tari.
Kasus tersebut menyita perhatian public yang sangat lama, bahkan hamper satu bulan kasus tersebut mencuat kepermukaan tetap menjadi head line media cetak dan elektronik. Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan dalam mencuatnya kasus tersebut. Pertama, kasus tersebut melibatkan selebritis papan atas Indonesia, sehingga otomatis kasus tersebut menjadi perbincangan hangat di media entertainment. Kedua kasus tersebut dianggap sebagai tindakan amoral yang harus segera diusut tuntas melalui jalur hukum. Dan terakhir adalah adanya indikasi kuat untuk mengalihkan isu yang lebih besar melalui kasus Ariel, Luna dan Cut Tari.

Pembahasan pertama memang sangat wajar karena ketiga selebritis tersebut adalah public figure yang selalu tampil di layar kaca ataupun panggung pertunjukan. Dunia entertainment sangat shok ketika mencuatnya kasus tersebut, terutama terhadap Luna Maya dan Cut TAri yang dianggap penggemarnya sosok yang alim, sedangkan Ariel memang terkenal dengan “Play Boy”, namun tetap juga public sangat shok pemeran utamanya adalah mereka bertiga yang banyak penggemar di Indonesia saat ini. Hal yang menarik terjadi adalah terjadinya penghakiman secara moral oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama oleh sebagian Ormas agama di Indonesia. Mereka bertiga dianggap menghancurkan moral-moral bangsa Indonesia dan meminta pihak penegak hukum untuk di hukum seberat-beratnya. Kasus tersebut terus bergulir seperti bola salju yang melaju dengan kencangnya, sehingga memunculkan pro kontra dalam masyarakat Indonesia, ada yang simpati dan ada yang anti pati terhadap mereka bertiga terutama Ariel yang sekarang statusnya telah menjadi tersangka. Banyak yang beranggapan jika saja Ariel mengaku video tersebut adalah koleksi pribadi niscaya dia akan terlepas dari segala tuntutan karena hukum normative  Indonesia, seperti KUHP UU Pornografi dan UU ITE  tidak dapat menjerat apabila dia memang bertujuan hanya sekedar untuk koleksi pribadi, dan ternyata video tersebut tersebuar bukan atas perbuatan si Ariel melainkan orang lain yang mencuri data-data si Ariel. Ariel kini di tahan sebagai konsekuensi atas statusnya yang menjadi tersangka sedangkan Luna Maya dan Cut Tari masih manjadi Saksi. DPR sampai Presiden pun ikut membahas permasalahan kasus tersebut karena dianggap berdampak besar bagi Moral remaja Indonesia. Apabila memang ingin dikaji antara moralitas dengan legalitas adalah suatu yang terpisah menurut HLA Hart maupun Imanuel Kant sehingga menurut penulis juga sepatutnya kasus tersebut telah menggabungkan kedua hal tersebut, sejatinya Moral dan Hukum itu terpisah. Menurut penulis batasan Moral yang memang masih debatable menjadi pemicu permasalah konflik pmikiran para pakar hukum itu sendiri di Indonesia, karena bagaimanapun juga belum ada batasan kongkret moralitas yang dianut di Indonesia yang multi etnis dan ideology pemikiran.
Dalam KUHP sendiri sudah jelas bahwa hubungan suka sama suka tidak dapat dipidana kecuali dalam hal zinah pihak yang paling dirugikan mengadukan kepada pihak kepolisian, namun senyatanya sampai saat ini suami Cut Tari tidak mengadukan perihal tersebut. Lalu Ariel di sangka dengan ikut andil menyebarkan video “esek-esek” tersebut padahal ariel sendiri tidak pernah merasa mengedarkannya, namun karena kealpaannya-lah dia disangka dengan turut serta melakukan tindak pidana mengedarkan video esek-sesek yang dianggap merusak kesusilaan. Video tersebut dianggap akan mempengaruhi jiwa remaj, sehingga dianggap para remaja yang mengidolakannya mengikuti jejak perbuatan sang idola. Patut untuk dipahami bahwa sebelum beredarnya video mesum tersebut remaja Indonesia telah banyak yang membuat video adegan intimnya dengan lawan jenisnya, sehingga Ariel sepatutnya tidak serta merta untuk disalahkan

Namun di balik itu semua menurut hemat penulis  kasus Ariel hanya menjadi alat untuk menutupi kasus atau permasalahan yang lebih besar di Indonesia. Sebelum kasus tersebut sebenarnya ada banyak kasus yang lebih jauh merugikan bangsa Indonesia yaitu kasus Century dan Mafia Hukum di Indonesia. Penulis melihat bahwa pengalihan isu kasus hukum tersebut sangat jelas kentara, diantaranya kasus Century yang menyeret nama-nama pejabat pemerintahan saat ini dari partai biru langit bintang, sehingga tak heran apabila para anggota DPR dari partai tersebut meledak-ledak agar kasus video ariel tersebut harus diusut sampai keakar-akarnya, padahal kasus Century yang jelas dianggap telah merugikan keuangan Negara justeru tidak tahu rimbanya sampai saat ini. Selanjutnya adalah pengalihan isu Mafia Hukum yang terjadi di Intansi Kepolisian. Kasus-kasus Mafia Hukum terutama kasus Gayus Tambunan yang menyeret perwira tinggi Polri seolah tertutup dengan rapat oleh hadirnya kasus video Ariel. Ada Apa sebenarnya dengan hukum Indonesia, Sehingga kasus yang sangat merugikan bangsa dan Negara justeru redup pembahasannya oleh media, namun juster kasus hukum yang masih debatable terus di blow-up?Mengapa para pewarta lebih senang meliput kasus Video Ariel daripada Kasus Korupsi? Coba kasus korupsi terus diblow-up seperti kasus Ariel, mungkin hal itu akan membuat para koruptor berpikir ulang untuk korupsi karena saking malunya dengan hujatan masa seperti yang dialami Ariel saat ini.

MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI


Membangun Masyarakat Madani

Oleh: Deny Suito
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110)

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28).

Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).

Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Menurut pengamatan A. Syafii Maarif, masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka—nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).

Masyarakat Madinah, yang oleh Cak Nur dijadikan tipologi masyarakat madani, merupakan masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.

Robert N. Bellah, mantan Guru Besar Sosiologi Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya, menurut Bellah, tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000: 211).

Perujukan masyarakat Madinah sebagai kerangka acuan dalam membangun tatanan masyarakat Muslim modern merupakan keharusan. Dengan alasan, masyarakat Madinah adalah umat yang terbaik dalam pandangan Allah. Friman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah,” (QS Ali Imran [3]: 110).

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125.
Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Wallahu a’lamu bis shawab.

Dny