Entri Populer

Senin, 30 April 2012

Rumah untuk Warga Miskin



Rencana pemerintah membangun rumah susun di atas rel kereta api dipandang sebagai terobosan baru. Namun, gagasan ini perlu didukung kajian secara mendalam.
Gagasan ini menjadi sebuah terobosan baik. Namun, tidak sesederhana itu karena perlu kajian mendalam mengenai sisi keamanan serta kenyamanan masyarakat. -- Hetifah Sjaifudian
"Melihat angka backlog perumahan yang tinggi, gagasan ini menjadi sebuah terobosan baik. Namun, tidak sesederhana itu karena perlu kajian mendalam mengenai sisi keamanan serta kenyamanan masyarakat," kata anggota Komisi V DPR RI, Hetifah Sjaifudian, kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (27/4/2012).
Planolog lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengatakan, kajian mendalam terkait rumah susun di atas rel kereta api ini berkaitan dengan standar konstruksi bangunan.
"Bagaimana meminimalkan getaran suara karena pergerakan kereta, bagaimana kekuatan bangunannya sehingga masyarakat yang tinggal tetap aman dan nyaman," ujarnya.
Meskipun memberikan apresiasi terhadap rencana ini, Hetifah mempertanyakan apakah pembangunan rusun di atas rel kereta ini sebagai satu-satunya alternatif.
"Pengkajian juga meliputi hal ini, apakah benar sudah tidak ada tanah lagi sehingga membangun rumah untuk MBR di atas rel kereta? "lanjut Hetifah.
Karena itu, pemerintah diminta lebih serius mengupayakan pemenuhan rumah bagi masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Menurut dia, jangan sampai karena jargon rumah murah, faktor keamanan dan kenyamanan lantas terlupakan.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz mengaku serius akan membangun rumah susun di atas rel kereta api. Rencana ini telah dibicarakan dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan salah satu tujuannya mengatasi permasalahan rumah liar di sepanjang rel kereta api.
Rencananya, rusun di atas rel kereta api ini akan bersifat milik dan sewa. Rumah sejahtera susun milik nantinya diperuntukkan untuk karyawan PT KAI, sementara rusun sewa diperuntukkan para penghuni liar yang sebelumnya bermukim di sepanjang rel kereta api.
Mengenai harga, Djan Faridz mengatakan, untuk rumah sejatera susun milik direncanakan Rp 6 juta per meter persegi. Untuk rumah susun sewa berkisar Rp 100.000 - Rp 200.000 per bulan. Saat ini, lanjutnya, Kemenpera tengah menggodok rencana pembangunan rusun di atas rel kereta api bersama Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, dan PT. KAI. Ia mengatakan, dalam kerjasama ini mekanisme tanah tidak akan dilepas sehingga hak guna bangunan di atas hak pemilik lahan.

Kamis, 26 April 2012


Pakar hukum properti Erwin Kallo mempertanyakan rencana Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz membangun properti khusus konsumen asing di tiga kawasan ekonomi khusus (KEK), yaitu Batam, Bintan, dan Karimun, dengan memperpanjang hak sewa warga negara asing (WNA) sampai 60 - 90 tahun. Hak sewa untuk warga negara asing dinilai tidak tepat. Kalau sewa itu, ya, antara pemilik dan penyewa, mau berapa tahun pun tidak masalah. -- Erwin Kallo
"Kalau sewa itu, ya, antara pemilik dan penyewa, mau berapa tahun pun tidak masalah. Tapi, kalau hak pakai untuk warga negara asing akan bagus untuk pengembangan industri properti," kata Erwin ketika dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (23/4/2012).
Hak pakai untuk WNA, lanjut Erwin, terkait dengan sertifikat bangunan sehingga melibatkan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 1996 tentang hak hunian bagi orang asing di Indonesia, WNA memiliki hak pakai dengan jangka waktu 25 tahun, dan kemudian dapat diperpanjang lagi.
"Pakai 25 tahun lalu, misalnya, perpanjang ditambah 25 tahun itu untuk hak pakai. Kalau hak sewa, ya, enggak ada masalah mau ada rencana pemerintah ini atau tidak," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Menpera Djan Faridz mengatakan tengah berkoordinasi dengan BPN mendukung kepemilikan rumah oleh asing di tiga kawasan KEK. Batam sebagai tujuan pertama dikembangkannya rencana tersebut dengan target pasar warga negara Singapura yang banyak bekerja di sana. Apabila hal ini berhasil diupayakan, menurut Menpera, akan menarik minat warga Singapura memiliki properti di Batam.
"Saya melihat banyak warga Singapura kerja di Batam harus bolak-balik ke negaranya naik kapal feri. Padahal, ini bisa menjadi potensi pengembangan properti di Batam," katanya di Bogor, Jumat (20/4/2012), lalu.
"Tanpa menyalahi undang-undang, yang tidak diperbolehkan adalah kepemilikannya. Hal yang diubah adalah rentang waktu sewanya menjadi 60 tahun. Saya sudah diskusi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional, kami mau cari celahnya. Kami mencari celahnya supaya bisa langsung 60 atau 90 tahun," ujarnya.

http://www.perumnas.co.id

Selasa, 24 April 2012

Problematik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dengan Outsourcing


Dr. Andari Yurikosari, SH MH[1]
A.Pendahuluan
Adanya kebutuhan hubungan kerja berdasarkan sistem outsourcing tidak dapat dihindari  dewasa ini dan merupakan kebutuhan nyata pada berbagai jenis bidang usaha. Sebab berdasarkan pertimbangan ekonomi, beberapa pekerjaan lebih tepat dilakukan secara outsourcing. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk menghindari dari kewajiban-kewajiban terhadap pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.  Demikian pula, terhadap perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Akan tetapi kurangnya sanksi dan peraturan pelaksana di bawah undang-undang memerlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian dan perlindungan hukum bagi mereka yang bekerja secara kontrak maupun mereka yang bekerja secara outsourcing.
Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah bahwa hubungan kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual[2] yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek (BW)[3]atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak[4] dalam hukum perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan  perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan kerja dengan hubungan industrial.[5] Beberapa negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja (labour contract).[6] Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat, industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in the form protective labor legislation).[7] Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion Act,[8] disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations. Argumen-argumen di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja.
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.[9] Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.[10]
Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah.[11] Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata yaitu :
a.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Arti kata sepakat  adalah   bahwa  kedua subyek   hukum yang mengadakan perjanjian
harus setuju  mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian tersebut dikehendai secara timbal balik
b.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut cakap  menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata  dijelaskan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
c.Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
d.Sebab yang halal
Sebab yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya  perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan, yaitu :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.[12] Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu  pekerjaan yang sekali selesai  atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.[13]
Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh  dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap.[14] Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan timbul dimana pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya, tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
1.  Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.  Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3.  Pekerjaan yang bersifat musiman;
4.  Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Sedangkan untuk masa sekarang ini hampir semua jenis pekerjaan dapat ‘dipkwtkan’ atau diikat dengan perjanjian kontrak maupun juga dengan caraoutsourcing, suatu hal yang sebenarnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja, hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan.  Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.[15]
Pelaksanaan outsourcing[16] dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja.  Namun demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak dapat dihindari oleh pengusaha, apalagi oleh pekerja. Hal tersebut dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seakan mendapat legalisasi memberlakukan praktek outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.
B. Permasalahan Yuridis Di dalam Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Hubungan kerja pada masa sekarang ini secara umum disebut hubungan kerja yang fleksibel, dalam arti hubungan kerja yang terjadi dewasa ini tidak memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya. Fleksibelitas bisa menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi kerja, juga ditentukan oleh pekerja itu sendiri. Dalam praktik pada mulanya ditemukan ada 4 jenis hubungan kerja fleksibel, yaitu :[17]
1.                 Hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman pekerja
2.                 Hubungan kerja yang dilaksankan di rumah
3.                 Hubungan kerja bebas
4.                 Hubungan kerja berdasarkan panggilan
Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam
UU No.13/2003, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau peminjaman pekerja (uitzenverhouding).[18]Meskipun pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja  di perusahaan pengguna . (Pasal 65 Ayat (4) UU 13/2003)
Tidak adanya jaminan kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam hubungan kerja yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut tiga pihak yaitu perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja. Dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus[19], Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcingyang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.
Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerjaoutsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh UU 13/2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.
Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. UU No. 13/2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna.
Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasaoutsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/ buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab rendahnya kedudukan baik pekerja kontrak maupun pekerja outsourcing yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Sebab apabila di antara para pihak terjadi putusnya hubungan kerja maka dikembalikan kepada aturan hukum perdata biasa di mana pihak yang wanprestasi atau ingkar janji diwajibkan untuk membayar kembali ganti kerugian.
Sebenarnya konsekuensi apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja.
Akan tetapi ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengenai outsourcing, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali. Hal tersebut tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri.
Sebenarnya keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerjaoutsourcing. Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan beberapa kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing yang rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pengguna, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan jasa outsourcing. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi pekerja outsourcing.
Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan.[20] Sebagian pekerja outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.
C. Kesimpulan
            Bekerja baik secara outsourcing, maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebenarnya tidaklah selalu menyalahi ketentuan undang-undang atau merugikan pekerja. Pada beberapa negara maju maupun negara berkembang lainnya, kedudukan pekerja outsourcing sangatlah diperhitungkan dan mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan di Indonesia, adalah lebih besarnya jumlah lapangan kerja dibandingkan lapangan pekerjaan yang tersedia, serta rendahnya tingkat kemampuan dan kompetensi dari pekerja itu sendiri yang mengakibatkan para pekerja sulit mengadakan tawar menawar terhadap jasa yang dimilikinya.


[1]Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ketua Pusat Studi Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Fakultas Hukum Universitas Trisakti, makalah disampaikan dalam  “Sosialisasi Kajian Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, “ Hotel Cikarang Inn, Cikarang, 13 Desember 2011
[2] Aloysius Uwiyono, “Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon,” dalam http:// www.Hukumonline diakses pada tanggal 9 Desember 2007. Faktor lain yang mempengaruhi dasar hubungan kerja adalah berkembangnya model hubungan industrial yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal ini terdapat dua model hubungan industrial yaitu  corporatist model dancontractualist model. Yang pertama suatu model hubungan kerja di mana peran Pemerintah sangat dominant dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja (corporatist model) dan yang kedua model hubungan industrial di mana peran Pemerintah sangat minim atau rendah(contractualist model). Selanjutnya Uwiyono menambahkan bahwa terdapat peran hubungan industrial yang lain di mana peran serikat pekerja sangat besar (multi union system).
[3]Indonesia masih menggunakan dasar hukum dalam BW/KUH Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum perburuhan mulai dari pasal 1601 a – pasal 1752 KUH Perdata
[4]Asas kebebasan berkontrak mempunyai hubungan erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (Ayat 1) KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak (contravijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Lihat Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir, 1993, hal. 105.
[5]UU No. 13/2003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh atau dalam Pasal 1 Ayat (15) dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, dan Pasal 1 Ayat (16) menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsure pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.
[6]Judge Bartolome` Rios Salmeron, dalam General Report Social Dialogue Eight Meeting of European Labour Court Justice, Jerusalem, September 3, 2000 menyebutkan bahwa,”…it is not usual to find a legal concept of contract of employment, although in some legal systems it can be deducted from the concept of employee, which is legally defined, in spite of the fact that personnel scope of labour acts may vary according to their objects. Mengutip British Statute Law dalamEmployment Rights Act (ERA) Section 230 (1)dinyatakan”…and a worker, who is working under a contract of employment or a contract for services” (Section 230 (3).
[7]Bruce E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment Relationship,New York : Industrial Relations Research Association Series, 1998, 1st. ed. p.2.
[8]Dalam Labour Relationship in a Changing Environment, London: Cornell University, 1990, Alan Gladstone mengutip Germany Civil Code, 1990,”……the civil code covers mainly fundamental aspects of employer –employee relationship…, contains provisions concerning termination of the labour contract.”
[9]Imam Soepomo,  Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hal.88.
[10] Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50
[11]R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: Grhadika Binangkit Press, 2004) Hal. 15
[12]F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

[13] R. Goenawan Oetomo, Op.Cit., hal. 18.
[14]F.X. Djulmiaji, Loc.Cit.
[15]“PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja,” diakses darihttp://www.pemantauperadilan.com pada 20 November 2007.
[16]Pengertian atau definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr Ani Wijayati, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003,” dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, h.66.
[17]RR Ani Wijayati, SH.MHum, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outourcing) Dalam UU No. 13/2003”, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta, UKI Press, 2004, hal.65.
 [18]DR. HP Radjagukguk,SH dalam “Kepastian Hukum Untuk Pekerja Sistem Outsourcing”, Makalah hal. 20.
[19]Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan najikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa, juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192 K/PHI/2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya.
[20]Kasus pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo Interaktif area Jawa Tengah  yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011.