Entri Populer

Rabu, 28 Desember 2011


A. Pengertian Hukum Acara Pidana
          Hukum acara pidana yaitu peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur bagaimana caranya beracara melalui alat-alat perlengkapannya bertindak.
Tujuan dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran materiil (ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, kesejahteraan masyarakat).
Adapun fungsi dari hokum acara pidana yaitu:
a. Mencari kebenaran dan menemukan kebenaran materiil
b. Pemberian keputusan oleh hakim
c. Pelaksanaan keputusan.
Peranan hakim adalah memeriksa dan memutus perkara. Peranan penasehat hukum adalah diatur dalam KUHAP pasal 56 yaitu untuk mendampingi, memberikan bantuan hukum di dalam sidang atau di luar sidang pengadilan.
Peranan penasehat hukum:
-  Mengajukan keberatan di luar pokok perkara
-  Mengajukan pembelaan di dalam sidang
-  Membuat duplik atau sanggahan terhadap replik
-  Mengajukan upaya hokum.
LP (lembaga pemasyarakatan) adalah memanusiakan manusia yaitu dididik agar lebih baik. Adapun ilmu pembantu di dalam hukum acara pidana yaitu:
a)      Logika yaitu suatu cara berpikir dengan akal budi yang sehat
b)      Kriminologi yaitu suatu ilmu yang mempelajari kejahatan dalam arti yang seluasnya, mempelajari sebab-sebab orang melakukan kejahatan, mengapa orang tersebut melakukan kejahatan di lihat latar belakangnya
c)      Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berusaha menyelami jiwa orang dalam proses perkara pidana.
d)     Psikiatri yaitu ilmu yang tujuannya mempelajari jiwa seseorang sehat atau tidak.
e)      Viktimologi yaitu ilmu yang mempelajari mengenai korban, mempelajari peranan korban dalam suatu tindak pidana.
-          korban lebih jahat dari pada terdakwa
-          korban sama jahatnya dengan terdakwa
-          terdakwa lebih jahat daripada korban.
Politik kriminil yaitu suatu usaha rasionil untuk mencegah kejahatan.
f)       Kriminalistik yaitu suatu ilmu yang mempelajari kejahatan dalam arti yang seluas-luasnya yang di dukung oleh teknologi.
Yang termasuk ilmu Kriminalistik yaitu:
-     Ilmu sidik jari (Daktilaskopi Forensik)
-          Balistik forensic yaitu suatu ilmu yang mempelajari senjata api, bahan peledak termasuk Bom
-          Odontologi forensic yaitu ilmu yang mempelajari mengenai gigi manusia yang ada kaitannya dengan kejahatan
-          Grafologi forensic yaitu ilmu yang mempelajari tanda tangan atau tulisan
g)      Metalogi forensic yaitu ilmu yang mempelajari besi, logam mulia, suatu emas palsu atau tidaknya.
h)      Hukum-hukum pidana
i)   Toksikologi forensic Menjadi racun yang ada kaitannya dengan tindak pidana mati diracun atau tidak. Misalnya keracunan masal, peracunan masal.

j)    Ilmu kimia forensik yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membantu mengungkap tindak pidana pengadilan dengan dasar ilmu kimia. Misalnya penyalahgunaan narkoba, miras. Jamu dll.
Terdapat tanda-tanda gantung diri pada korban, yakni :
  1. Air muka menjadi biru
  2. Air muka menjadi pucat
  3. Lidah menjulur ke luar dari mulut
  4. Pada kedua lengan dan kedua kaki sebelah bawah terdapat bintik-bintik.

- Dalam kasus pidana sering kali ditemukan kasus Abortus Yaitu pengguguran kandungan, untuk mencari kebenaran materil. Abortus terdiri dari:
1.      Abortus spontan yaitu abortus dengan sendirinya
2.      Abortus propokatus taitu abortus dengan sengaja, terdiri dari:
a.       Abortus propokatus Medisianis Yaitu abortus dengan alasan medis
b.      Abortus propokatus kriminalis yaitu dapat di pidana.

B. Asas-asas hukum Acara Pidana
a. Asas cepat
b. Asas sederhana
c. Asas biaya ringan
Asas cepat yaitu pengadilan cepat terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan pengadilan. Penjabaran asas cepat dalam KUHAP pasal 24 ayat 4 dan pasal 25 ayat 4 KUHAP. Pasal 26 ayat 4 KUHAP, pasal 27 ayat 4 KUHAP, pasal 24 P KUHAP.
Adanya rencana tuntutan yaitu merupakan bagian dari asas cepat.
Alasan-alasan lamanya suatu perkara di MA:
1.      Kurangnya hakim
2.      banyaknya perkara di MA
Solusinya antara lain:
a. hakim di perbanyak
b.membatasi suatu perkara.
-          Asas praduga tak bersalah adalah setiap otang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan di tuntut atau di hadapkan ke muka siding pengadilan wajib dianggap tak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hokum tetap.
- Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
Lisan maksudnya tidak tertulis antara hakim dan terdakwa. Sedangkan langsung maksudnya langsung pada terdakwa dan saksi. Pengecualian asas langsung dalam pelanggaran lalu lintas jalan.
- Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum. Adapun pengecualiannya antara lain:
1.      terhadap kesusilaan, misalnya: perzinaan dan pemerkosaan
2.      pemeriksaan anak di bawah umur.
Apabila tidak sesuai maka dapat dinyatakan batal demi hukum
Pengadilan tertutup untuk umum antara lain:
a.       Mengadili anak-anak dan kesusilaan
b.      Sejak surat dakwaan itu di bacakan.
- Asas fortunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana.
- Tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum seperti yang tercantum dalam pasal 69 dan 74 kuhap.
Setiap penyidik, penuntut umum, hakimdalam memeriksa terdakwa wajib menanyakan apakah anda telah di dampingi penasehat hokum.

- Perbedaan antara asas Akusator dan asas Inkisitor
Asas Inkisitor mencakup:
-          Tersangka dan terdakwa dijadikan sebagai objek
-          Pemeriksaan tertutup
-          Tidak didampingi oleh penasehat hukum
-          Menitikberatkan pada kemampuan
Asas akusator mencakup:
-          Pemeriksaan dilakukan dengan terbuka
-          Berhak mendapat bantuan hukum
-          Tersangka dan terdakwa sebagai subjek yaitu mempunyai kedudukan yang sama
-          Menitikberatkan pada kemampuan
-          KUHAP termasuk dalam asas akusator

C. Yang Berperan Dalam Proses Acara Pidana
1.      Warga masyarakat berperan sebagai saksi, tindak pidana ada yang muncul ada yang tidak karena terkadang masyarakat tidak melaporkan bahkan menutupi adanya tindak pidana.
2.      Penyelidik (seluruh anggota polri), tindakan penyelidik atas laporan yang dilaporkan termasuk tindak pidana atau bukan.
3.      Penyidik, tindakan penyidik adalah lanjutan dari penyelidikan, mencari kebenaran materiil (kebenaran yang selengkap-lengkapnya).
4.      Jaksa penuntut umum berperan meneliti apakah berita acara pemeriksaan yang dibuat pihak kepolisian  sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil, serta melakukan penuntutan, pemeriksaan terhadap terdakwa dan bukti-bukti, dan memeriksa saksi.
5.      Hakim mempunyai peran untuk memeriksa perkara dan memutuskan perkara.

D. Upaya Hukum
          Dalam hukum acara pidana juga terdapat upaya hukum yang dapat diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dan jaksa penuntut umum, seperti halnya yang dilakukan oleh Rio martil dan kuasa hukumnya untuk meringankan hukuman yang telah dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama yaitu hukuman mati. Sebelum mengetahui lebih lanjut kita ketahui dulu apa yang dmaksud upaya hukum dan bagian-bagiannya.
Upaya hukum adalah tindak lanjut dari para pihak yang tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan, dengan mengajukan pemeriksaan kembali di pengadilan yang lebih tinggi. Upaya hukum terbagi menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa dan luar biasa.. Upaya hukum biasa terdiri dari pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat kasasi.
 - Upaya hukum biasa,
1.  Tingkat Banding, permintaan pemeriksaan tingkat  banding dapat diajukan  ke Pengadilan Tinggi.
2. Tingkat Kasasi, permintaan pemeriksaan tingkat kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
            Selain upaya hukum biasa, dalam hukum acara pidana juga terdapat upaya hukum luar biasa, yaitu :
1. Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum, diajukan jaksa agung kepada mahkamah agung, pemeriksaan ini berlaku untuk keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam hal ini putusan yang dikeluarkan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
2. Peninjauan kembali, permintaan peninjauan kembali berlaku untuk keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Grasi adalah permohonan ampun kepada Presiden atas tindak pidana yang telah dilakukan, grasi merupakan jalan terakhir untuk meminta hukuman yang dijatuhkan itu diringankan setelah dilakukan upaya-upaya hukum yang telah disebutkan diatas. 

Kamis, 02 Juni 2011

Kaidah Hukum dan Sosial


                                                                       Kaidah Hukum dan Sosial

Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Pola-pola berfikir manusia dalam pergaulannya mempengaruhi sikap manusia itu sendiri, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu kepada manusia lain, atau terhadap benda maupun keadaan-keadaan yang ada disekitarnya. Sikap-sikap manusia inilah yang membentuk kaidah-kaidah untuk mengatur manusia agar hidup teratur dan pantas. Kaidah-kaidah ini merupakan patokan atau pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyrakat.
Di satu pihak kaedah-kaedah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, yang terdiri dari kaidah kepercayaan atau agama dan kaidah kesusilaan. Di lain pihak ada kaida-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaedah hukum. Kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah-kaidah lainnya, karena mengatur kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang ada di dalam pergaulan hidup manusia. Tetapi secara empiris merupakan suatu hal yang wajar apabila kaidah-kaidah hukum ada perbedaan dengan prilaku manusia yang nyata.
Hal ini dikarenakan kaidah hukum merupakan pedoman tentang prilaku manusia yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola prilaku manusia. Setip masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar prilakunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun tidak untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarajat yang bersangkutan.[1]  Menurut Bronislaw Malinowski dalam  penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobiand dari Melanasia kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1926), menyatakan inti sari hukum adalah terjalinnya prinsip resiprositas. Dia berkata bahwa:
The rules of law stand out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations or one person and the rightful claims or another. They are sanctioned not by a mere psycological motive, but by a definite social machinery of binding force, based................. upon mutual depndence, and realized in the equivalent arrangement of reciprocal serices.[2]
Selanjutnya dia berpendapat bahwa: law is spesific result of the configuration of obligations, which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future.[3]Analisis dari Malinowski tersebut telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh dengan kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari dalam pergaulan hidup manusia. Hukum bukan semata-mata berupa paksaan tetapi merupakan jalan untuk mengemukakan suatu sitem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Selain itu hukum juga dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat agar hukum itu dapat dilaksanakan oleh masyarakat.[4]
Menurut H. L. A. Hart, konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum itu sendiri. Menurutnya inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder. Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informil tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Ada kemungkinan dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang stabil di mana para warga negaranya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain.[5] Tetapi dengan perkembangan zaman yang terjadi menyebabkan semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Dengan demikian diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
1.      rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dean dimana perlu menyusun sturan-aturan tadi secara hierarki menurut urut-urutan kepentingannya;
2.      rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
3.      rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.[6]


[1] J. S. Roucek, Social Control, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-2 (Jakarta: rajawali, 1983), hal. 68.
[2] Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, dalam soerjono soekanto, loc.cit. hal. 69.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] H. L. A. Hart, The Concept of Law, dalam Ibid.,
[6] Ibid., hal. 72.

A.      Kaidah Hukum dan Sosial
Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Pola-pola berfikir manusia dalam pergaulannya mempengaruhi sikap manusia itu sendiri, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu kepada manusia lain, atau terhadap benda maupun keadaan-keadaan yang ada disekitarnya. Sikap-sikap manusia inilah yang membentuk kaidah-kaidah untuk mengatur manusia agar hidup teratur dan pantas. Kaidah-kaidah ini merupakan patokan atau pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyrakat.
Di satu pihak kaedah-kaedah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, yang terdiri dari kaidah kepercayaan atau agama dan kaidah kesusilaan. Di lain pihak ada kaida-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaedah hukum. Kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah-kaidah lainnya, karena mengatur kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang ada di dalam pergaulan hidup manusia. Tetapi secara empiris merupakan suatu hal yang wajar apabila kaidah-kaidah hukum ada perbedaan dengan prilaku manusia yang nyata.
Hal ini dikarenakan kaidah hukum merupakan pedoman tentang prilaku manusia yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola prilaku manusia. Setip masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar prilakunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun tidak untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarajat yang bersangkutan.[1]  Menurut Bronislaw Malinowski dalam  penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobiand dari Melanasia kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1926), menyatakan inti sari hukum adalah terjalinnya prinsip resiprositas. Dia berkata bahwa:
The rules of law stand out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations or one person and the rightful claims or another. They are sanctioned not by a mere psycological motive, but by a definite social machinery of binding force, based................. upon mutual depndence, and realized in the equivalent arrangement of reciprocal serices.[2]
Selanjutnya dia berpendapat bahwa: law is spesific result of the configuration of obligations, which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future.[3]Analisis dari Malinowski tersebut telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh dengan kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari dalam pergaulan hidup manusia. Hukum bukan semata-mata berupa paksaan tetapi merupakan jalan untuk mengemukakan suatu sitem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Selain itu hukum juga dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat agar hukum itu dapat dilaksanakan oleh masyarakat.[4]
Menurut H. L. A. Hart, konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum itu sendiri. Menurutnya inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder. Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informil tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Ada kemungkinan dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang stabil di mana para warga negaranya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain.[5] Tetapi dengan perkembangan zaman yang terjadi menyebabkan semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Dengan demikian diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
1.      rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dean dimana perlu menyusun sturan-aturan tadi secara hierarki menurut urut-urutan kepentingannya;
2.      rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
3.      rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.[6]


[1] J. S. Roucek, Social Control, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-2 (Jakarta: rajawali, 1983), hal. 68.
[2] Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, dalam soerjono soekanto, loc.cit. hal. 69.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] H. L. A. Hart, The Concept of Law, dalam Ibid.,
[6] Ibid., hal. 72.

Kebijakan Resosialisasi Prostitusi


                                           Kebijakan Resosialisasi Prostitusi

Masalah prostitusi sebagai salah satu fenomena sosial pada saat ini begitu sulit untuk di atasi oleh pemerintah. Di mana prostitusi itu bermakna sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[1] Fenomena ini telah menimbulkan keresahan masyarakat. Fenomena prostitusi bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di tiap negara di dunia, ini mengingat secara harfiah fenomena prostitusi muncul bersamaan dengan adanya masyarakat. Masyarakat seolah-olah sudah memiliki semacam kesepakatan ini, yaitu memberikan warna hitam terhadapnya, kehidupan yang berlumpur dan bernoda yang dikutuk masyarakat. Tetapi disisi lain, dilihat dunia pelacuran menjanjikan sejuta impian. Impian yang harus ditebus dengan cara yang total oleh wanita-wanita yang ingin mewujudkannya dalam mempertahankan realitasnya dan keluarganya. Sementara para ahli ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini kedalam “Patologi Sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya.
Prostitusi ini menimbulkan dampak yang besar kepada masyarakat karena secara langsung maupun tidak langsung prostitusi menimbulkan keresahan masyarakat. Keresahan masyarakat ini muncul karena prostitusi dapat mengganggu kesehatan masyarakat (menimbulkan IMS=Infeksi Menular Seks), namu dengan demikian menurut J. Verkuyl bahwa: “Kita melarang pelacuran, tetapi sebaliknya kita dapat terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan”.
Prostitusi merupakan dilema sosial yang universal yang juga dihadapi oleh Indonesia dimana KUHP tidak berdaya untuk diterapkan terhadap prostitusi, karena sangat minim dan sederhana sekali kaidah-kaidah yang berhubungan dengan masalah prostitusi. Pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai prostitusi hanya tiga pasal yaitu Pasal 296 KUHP, Pasal 297 KUHP dan Pasal 506 KUHP dan kenyataan mengenai KUHP sendiri tidak secara tegas mengancam hukuman pidana kepada si pelacur. Pemerintah Indonesia hingga saat ini pun jika dilihat dari realita yang ada sebenarnya belum mampu untuk menanggulangi masalah prostitusi, meskipun pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian fenomena sosial prostitusi. Untuk menanggulangi permasalahan prostitusi pemerintah harus mengeluarkan suatu kebijakan mengenai permasalahan ini, kebijakan tersebut harus dilandasi wewenang yang dimiliki oleh pemerintah tersebut. Kebijakan pada dasarnya adalah oprasionalisasi dari kewenangan artinya kebijakan itu hasil dari tindakan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Terdapat 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat menurut H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:

1. attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);
2.    delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan door een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dai satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);
3.      mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[2]

Ditinjau dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa : Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Dalam hal ini yang menjadi kewenangan pemerintah pusat menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kemudian yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.        fasilitas pengembangan koprasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.    pelayan administrasi umum pemerintahan;
n.      pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p.      urusan wajib lainnya yangh diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewenangan Pemerintahan daerah kabupaten/kota menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan kepentingan umum dan ketentraman sosial;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       pemyelenggaraan pendidikan;
g.      penaggulangan masalah sosial;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.        fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.        penegndalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan;
l.        pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m.    pelayanan administrasi pelayanan modal;
n.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan dalam penanganan masalah protitusi ini kemudian diimplementasikan ke dalam sebuah kebijakan publik yaitu keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.[3] Kaitannya dengan kebijakan resosialisasi prostitusi adalah bahwa mengenai kebijakan ini bukanlah menjadi urusan pemerintah pusat melainkan urusan pemerintah daerah, karena kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Hal ini mungkin bahwa pembuat undang-undang memahami si pelacur seolah justru sebagai korban situasi atau keadaan. Alasan tersebut di ataslah yang menyebabkan berbagai kota besar di Indonesia atas persetujuan Pemerintah Daerahnya mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pelacuran.


[1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, loc.cit.
[2] H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-2 (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal. 74.