DEGRADASI SISTEM HUKUM
Berbincang dan berdiskusi mengenai kepastian hukum dan kekuatan bangsa
adalah lebih ditekankan pada kondisi kekinian dan solusi dari dalam negera
Indonesia itu sendiri. Kalimat yang demikian sebenarnya harus dibaca degradasi
sistem hukum dan solusinya. Parahnya
sistem hukum Indonesia lebih kepada sisi penegakan hukumnya, setidaknya
demikian dinyatakan Satjipto Rahardjo. Barometernya adalah demikian banyak
kasus-kasus hukum yang tidak terpecahkan. Bukan karena tidak ada solusi, melainkan
karena tidak mau menjalankan solusi.
Sebagai suatu komentar, tulisan ini berangkat dari tiga sudut pandang
sintesis, yaitu sumber daya manusia, manuskrip hukum, dan budaya penegakan
hukum. Pertama, dari sisi sumber daya
manusia Indonesia. Sudah menjadi konsumsi publik dan bukan lah rahasia bahwa
jumlah penduduk Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di bumi. Namun
kuantitas yang demikian besar bukan menjadi solusi terhadap kualitas penegak
hukum karena pembangunan sumber daya manusia yang ada di Indonesia difokuskan
pada pengembangan jati diri pemimpin bukan pelayan masyarakat.
Kedua, sudut pandang manuskrip hukum. Refleksi utama dari
manuskrip hukum adalah rumusan-rumusan dalam aturan hukum di Indonesia acapkali
diartikan atau diinterpretasikan dengan konsepsi salah dan dilatarbelakangi
untuk kepentingan pribadi. Asumsi demikian adalah abstraksi dari banyaknya
perdebatan ahli hukum yang diawali kasus hukum. Misinterpretasi yang riil nyata
terjadi di Indonesia disebabkan demikian banyaknya perbedaan pendidikan yang
didapatkan para ahli hukum Indonesia. Selaras dengan misinterpretasi, pun
penguasa negara Indonesia tidak lupa mengejawantahkan hukum yang ada sesuai
dengan kepentingan kelompoknya. Dengan demikian manuskrip hukum pun
terdegradasi menjadi manuskrip yang penuh dengan kebobrokan.
Ketiga, budaya penegakan hukum. Budaya penegakan hukum juga
menjadi indikator tergerusnya sistem hukum Indonesia dari yang semula begitu
ideal dicitakan menjadi konsepsi riil nyata lemah. Sudah dikenal jelas adanya kesepahaman
bahwa hukum lemah ke atas, kuat ke bawah. Situasi tersebut adalah kerangka
kerja dan kerangka operasionalisasi hukum Indonesia saat ini.
Hukum Progresif Sebagai Solusi?
Tidaklah menjadi satu keharusan untuk mengikuti pola berpikir hukum progresif,
di sini penuli mencoba memperkenalkan ide orisinil berupa transformasi sistem
hukum. Tesis utama dari ide ini adalah “pada kondisi-kondisi tertentu hukum
dibenarkan untuk diubah dari teksnya demi kemaslahatan bersama (demi
kepentingan rakyat)” preposisi tersebut adalah refleksi kerja yang sebenarnya
digunakan sebagai waham untuk membantah hukum progresif yang sejatinya tidak
merepresentasikan konstruk-konstruk peubahan hukum.
Hukum transformatif adalah sebuah cita hukum yang lebih mementingkan
manfaat atau kegunaan (utilitas) hukum yang memang nyata harus dilakukan
mengingat sudah sedemikian parahnya kecelakaan hukum di Indonesia.
KONSTRUK FILSAFAT SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Balada hukum dan ilmu sosial serta korelasinya adalah sebuah langkah performatif
yang jelas dalam kaitan antara fakta fenomena sosial dan hukum. Dalam kajian
filsafat hukum dengan aliran-alirannya, mazhab filsafat hukum yang dimulai dari
hukum alam hingga yang berkembang terakhir Critical legal merupakan sebuah
rangkaian kajian sebagaimana dialurkan oleh Hegel dengan dialektika
tesa-antitesa-sintesa.
Pada kajian dialektika tersebut, Hegel menyatakan bahwa alur pikir metodis
dari sebuah ilmu tidak lain merupakan proses yang tidak pernah berhenti.
Demikian juga dalam konteks hukum. Substansi dari mazhab-mazhab filsafat hukum
yang demikian banyaknya sebenarnya adalah sama yaitu pada keadilan. Kritik
terhadap aliran sosiolegal jurisprudence adalah bahwa hukum yang ditelaah
penerapannya tidak lagi murni hukum melainkan sudah terkontaminasi dengan sisi
lain selain hukum.
Artikel yang berjudul “Sosiologi Hukum Atas Perkembangan Sosial-Politik”
sebenarnya tidak lebih dari tulisan yang bersifat teoritik tanpa
mempertimbangkan ruang lingkup nasional. Ini menjadi menara gading yang lepas
dari realita meskipun judulnya membahas sosiologi hukum. Terpenting dan terlupa
dari kajian yang dilakukan dalam tulisan tersebut adalah diskursus mengenai
stratifikasi sosial yang jomplang di Indonesia, penghargaan terhadap rakyat
yang sudah sedemikian rendahnya dan degradasi moral bangsa yang memang sudah
memasuki level sangat memilukan.
Ibarat tangisan yang sudah terdengar hingga ke seluruh pelosok negeri,
hukum pun sudah tidak punya lagi taring yang sama kepada semua orang. Semuanya
tidak lagi sama, Equality Before The Law
hanya menjadi semu belaka karena hukum hanya menjadi jargon kosong belaka.
Solusinya?
Ambang batas ketidaktaatan terhadap hukum di Indonesia sudah sedemikian
tidak lagi dapat ditoleransi. Asumsi demikian adalah asumsi yang sifatnya hipotetik,
namun demikian memang nyata. Demoralisasi hukum adalah kondisi riil yang memang
nyata harus dihadapi. Penulis sendiri mengutamakan ide doktrin hukum yang
mengutamakan utilitas sembari tidak melupakan legalitas.
Doktrin hukum yang coba dibangun adalah dengan memperhatikan tujuan negara
Indonesia dengan menggunakan metode kepastian hukum. Diharapkan dengan demikian
dapat menciptakan kondisi yang memang adil dan bermanfaat bagi seluruh rakyat
Indonesia.