Entri Populer

Selasa, 11 September 2012

DEGRADASI SISTEM HUKUM


DEGRADASI SISTEM HUKUM


Berbincang dan berdiskusi mengenai kepastian hukum dan kekuatan bangsa adalah lebih ditekankan pada kondisi kekinian dan solusi dari dalam negera Indonesia itu sendiri. Kalimat yang demikian sebenarnya harus dibaca degradasi sistem hukum dan solusinya. Parahnya  sistem hukum Indonesia lebih kepada sisi penegakan hukumnya, setidaknya demikian dinyatakan Satjipto Rahardjo. Barometernya adalah demikian banyak kasus-kasus hukum yang tidak terpecahkan. Bukan karena tidak ada solusi, melainkan karena tidak mau menjalankan solusi.
Sebagai suatu komentar, tulisan ini berangkat dari tiga sudut pandang sintesis, yaitu sumber daya manusia, manuskrip hukum, dan budaya penegakan hukum. Pertama, dari sisi sumber daya manusia Indonesia. Sudah menjadi konsumsi publik dan bukan lah rahasia bahwa jumlah penduduk Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di bumi. Namun kuantitas yang demikian besar bukan menjadi solusi terhadap kualitas penegak hukum karena pembangunan sumber daya manusia yang ada di Indonesia difokuskan pada pengembangan jati diri pemimpin bukan pelayan masyarakat.
Kedua, sudut pandang manuskrip hukum. Refleksi utama dari manuskrip hukum adalah rumusan-rumusan dalam aturan hukum di Indonesia acapkali diartikan atau diinterpretasikan dengan konsepsi salah dan dilatarbelakangi untuk kepentingan pribadi. Asumsi demikian adalah abstraksi dari banyaknya perdebatan ahli hukum yang diawali kasus hukum. Misinterpretasi yang riil nyata terjadi di Indonesia disebabkan demikian banyaknya perbedaan pendidikan yang didapatkan para ahli hukum Indonesia. Selaras dengan misinterpretasi, pun penguasa negara Indonesia tidak lupa mengejawantahkan hukum yang ada sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Dengan demikian manuskrip hukum pun terdegradasi menjadi manuskrip yang penuh dengan kebobrokan.
Ketiga, budaya penegakan hukum. Budaya penegakan hukum juga menjadi indikator tergerusnya sistem hukum Indonesia dari yang semula begitu ideal dicitakan menjadi konsepsi riil nyata lemah. Sudah dikenal jelas adanya kesepahaman bahwa hukum lemah ke atas, kuat ke bawah. Situasi tersebut adalah kerangka kerja dan kerangka operasionalisasi hukum Indonesia saat ini.

Hukum Progresif Sebagai Solusi?
Tidaklah menjadi satu keharusan untuk mengikuti pola berpikir hukum progresif, di sini penuli mencoba memperkenalkan ide orisinil berupa transformasi sistem hukum. Tesis utama dari ide ini adalah “pada kondisi-kondisi tertentu hukum dibenarkan untuk diubah dari teksnya demi kemaslahatan bersama (demi kepentingan rakyat)” preposisi tersebut adalah refleksi kerja yang sebenarnya digunakan sebagai waham untuk membantah hukum progresif yang sejatinya tidak merepresentasikan konstruk-konstruk peubahan hukum.
Hukum transformatif adalah sebuah cita hukum yang lebih mementingkan manfaat atau kegunaan (utilitas) hukum yang memang nyata harus dilakukan mengingat sudah sedemikian parahnya kecelakaan hukum di Indonesia.

KONSTRUK FILSAFAT SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE 
Balada hukum dan ilmu sosial serta korelasinya adalah sebuah langkah performatif yang jelas dalam kaitan antara fakta fenomena sosial dan hukum. Dalam kajian filsafat hukum dengan aliran-alirannya, mazhab filsafat hukum yang dimulai dari hukum alam hingga yang berkembang terakhir Critical legal merupakan sebuah rangkaian kajian sebagaimana dialurkan oleh Hegel dengan dialektika tesa-antitesa-sintesa.
Pada kajian dialektika tersebut, Hegel menyatakan bahwa alur pikir metodis dari sebuah ilmu tidak lain merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Demikian juga dalam konteks hukum. Substansi dari mazhab-mazhab filsafat hukum yang demikian banyaknya sebenarnya adalah sama yaitu pada keadilan. Kritik terhadap aliran sosiolegal jurisprudence adalah bahwa hukum yang ditelaah penerapannya tidak lagi murni hukum melainkan sudah terkontaminasi dengan sisi lain selain hukum.
Artikel yang berjudul “Sosiologi Hukum Atas Perkembangan Sosial-Politik” sebenarnya tidak lebih dari tulisan yang bersifat teoritik tanpa mempertimbangkan ruang lingkup nasional. Ini menjadi menara gading yang lepas dari realita meskipun judulnya membahas sosiologi hukum. Terpenting dan terlupa dari kajian yang dilakukan dalam tulisan tersebut adalah diskursus mengenai stratifikasi sosial yang jomplang di Indonesia, penghargaan terhadap rakyat yang sudah sedemikian rendahnya dan degradasi moral bangsa yang memang sudah memasuki level sangat memilukan.
Ibarat tangisan yang sudah terdengar hingga ke seluruh pelosok negeri, hukum pun sudah tidak punya lagi taring yang sama kepada semua orang. Semuanya tidak lagi sama, Equality Before The Law hanya menjadi semu belaka karena hukum hanya menjadi jargon kosong belaka.

Solusinya?
Ambang batas ketidaktaatan terhadap hukum di Indonesia sudah sedemikian tidak lagi dapat ditoleransi. Asumsi demikian adalah asumsi yang sifatnya hipotetik, namun demikian memang nyata. Demoralisasi hukum adalah kondisi riil yang memang nyata harus dihadapi. Penulis sendiri mengutamakan ide doktrin hukum yang mengutamakan utilitas sembari tidak melupakan legalitas.
Doktrin hukum yang coba dibangun adalah dengan memperhatikan tujuan negara Indonesia dengan menggunakan metode kepastian hukum. Diharapkan dengan demikian dapat menciptakan kondisi yang memang adil dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar