Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

KOMENTAR TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


KOMENTAR  TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

RUU Keistimewaan Yogyakarta menjadi suatu polemik yang hangat dibicarakan selama satu bulan terakhir ini. Masalah yang paling banyak menjadi kontroversi adalah menngenai pengisian jabatan Gubernur propinsi Yogyakarta yang akan dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Reaksi mengenai usul RUU tersebut yang draftnya masih di pemerintah mengundang berabagai polemic seperti demonstrasi di berbagai tempat di Yogyakarta. Sejak Kesultanan Ngayogyakarta bergabung ke Negara Kesatuan republic Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia, Gubernur Yogyakarta memang adalah Sultan Hamengkubuwono IX dampai beliau wafat pada tahun 1983 dan setelah itu diganti oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X sampai sekarang. Masyarakat Yogyakarta terkesan sangat kaget mendengar adanya RUU yang nantinya akan menyebabkan Gubernur Yogyakarta di pilih secara langsung, tentu saja mereka geram karena selama ini pemimpin Yogyakarta adalah Sri Sultan sendiri. Adanya mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat menurut penulis karena kurang pahamnya pemerintah pada sejarah dari Yogyakarta. Patut diingat bahwa Yogyakarta adalah satu Negara berdaulat saat bergabung untuk menjadi salah satu Provinsi di Indonesia ketika Indonesia baru menjadi Negara, sehingga presiden Soekarno pun saat itu menghargai keistimewaan Yogyakarta begitu halnya ketika Rezim Soeharto berkuasa di Indonesia status Yogyakarta terutama dalam hal kepala daerah yaitu Sri Sultan dan Paku Alam  tidak pernah di usik oleh pemerintah pusat.
Penulis cenderung berpendapat bahwa Pemerintah kurang bijak dalam mengajukan RUU yang menurut penulis hanya menjadikan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai simbol daerah saja. Hal tersebut disebabkan dalam draft RUU tersebut lembaga Parardhya hanya menjadi symbol dan penjaga kebudayaan daerah Provinsi Yogyakarta. Dengan demikian Sri Sultan dan Paku Alam tidak mempunyai kewenangan yang teknis karena Parardhya hanya dapat memberikan rekomendasi-rekomendas atau memberikan usulansi terhadap jalannya pemerintah daerah Yogyakarta. Pemakjulan atau lebih ekstrimnya adalah Impeachment terhadap Sri Sultan dan Paku Alam oleh Pemerintah pusat dan hal tersebut sangat tidak etis karena sejarah lahirnya Negara ini terpisah dengan Yogyakarta yang memang sudah menjadi Negara sebelum Indonesia merdeka, sehingga sudah tidak sepatutnya Pemerintah Pusat membuat Sri Sultan dan Paku Alam sebagai simbol daerah saja.
RUU tersebut juga masih terdapat kekurangan yaitu apabila Sri Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri menjadi Gubernur menjadi sebuah tanda Tanya siapakah yang akan menjadi lembaga Parardhyanya? Dalam RUU tersebut tidak mengaturnya dengan jelas sehingga dari segi subtansi masih sangat mentah. Dalam RUU tersebut juga tidak diatur berapa lama masa peralihan sampai diasakannya pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat.
Terlepas dari berbagai kelemahan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut yang menandakan masih sangat mentahnya RUU tersebut, penulis tetap berpendapat bahwa RUU tersebut tidak seharusnya diberlakukan untuk dareh istimewa Yogyakarta, karena penulis yakin nantinya akan terjadi penolakan besar-besaran dari masyarakat Yogyakarta yang akan menimbulkan Chauvinisme di Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja berbahaaya bagi keutuhan bangsa dan Negara ini.

Sebuah Pemaknaan Sejarah Terhadap Tragedi 1965


Menyembuhkan Luka Sejarah
Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965


Sebuah Pemaknaan Sejarah Terhadap Tragedi 1965


Rangkuman :
Pelabelan Komunisme adalah ideologi jahat yang akan membahayakan kehidupan bangsa dan negara ini sudah saatnya untuk direkontuksi ulang. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya justifikasi atau pelabelan yang belum tentu terbukti secara benar kenyataanya adalah tidak tepat. Tragedi 1965 dalam hal ini Gerakan Tiga puluh September selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah semasa rezim Orde Baru adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia beserta organisasi dibawahnya. Banyaknya versi yang mengungkap peristiwa tersebut menjadi indikasi bahwa kebenaran PKI dinbalik itu tragedi tersebut belum dapat di ketahui secara pasti kebenarannya. Sebagai genarasi muda sudah saatnya kita melakukan rekontruksi pemikiran terhadap pelabelan yang menyeret sebuah ideologi, yaitu Komunisme melalui beberapa cara diantaranya adalah mengadakan diskusi ilmiah mengenai ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang mendalam mengenai ajaran tersebut berbahaya atau tidak bagi kelangsungan kehidupan suatu bangsa dan negara.






Suatu ketika seorang mahasiswa yang terkenal sebagai aktivis mengajak temannya untuk melakukan demonstrasi kepada pemerintah,  ia berujar “hey broer, ikut demo kepada pemerintah sama aku yuk?”, lalu temannya menanyakan kembali “emangnya demo apaan?” aktivis tersebut kemudian menjawab “demo menolak kebijakan komersialisasi pendidikan di Inddonesia, karena pemerintah ini sudah sangat jelas telah lepas dari tanggungjawabnya dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah sepatutnya mereka lengser dari kekuasaannya”. Temannya dengan nada sinis berujar “Kamu komunis ya?” pertanyaan sekaligus justifikasi tersebut seolah-olah menjadi  petir di siang hari, mengapa mahasiswa yang mengkritik atau melakukan demonstrasi diidentikan dengan orang komunis?
Pertanyaan tersebut selalu muncul dalam benak penulis ketika melihat mahasiswa yang menjadi aktivis dilabeli komunis. Bentuk labeling seperti itu sudah pasti hasil indoktrinasi pemikiran secara terus-menerus. Rezim Orde Baru yang menguasai pemerintahan negeri ini selama 32 tahun menjadi aktor dibalik indoktrinisasi yang diajalnkan secara terus menerus kepada rakyat Indonesia agar mereka benci komunis. Kaum komunis dianggap selalu ingin mengkudeta atau merebut kekuasaan terhadap pemerintah sehingga harus disingkirkan. Politik media yang menggembar-gemborkan bahwa gerakan tiga puluh September 1965 merupakan gerakan kudeta yang dijalankan Partai Komunis Indoesia beserta underbow atau afiliasi PKI dan atas jasa Soeharto gerakan tersebut ditumpas, begitu tertanam kuat dalam benak mayoritas rakyat Indonesia yang tidak mengetahui secara pasti kejadian sebenarnya.  Ketika Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto menguasai pemerintahan di Indonesia, maka pemberantasan Partai Komunis Indonesia sampai keakarnya terus digencarkan sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Setiap orang yang dituduh komunis sudah pasti mengalami berbagai kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Untuk melanggengkan kekuasaannya maka Soeharto dan kawan-kawan menganggap serta melabeli setiap orang yang membenci atau mengkritik pemerintahannya adalah komunis. Rezim Orde Baru tidak segan-segan bersikap refresif kepada siapa saja yang anti terhadap pemerintahannya. hal tersebuut diakomodir dengan Undang-Undang tentang subversif yang kini telah dicabut, yang didalamnya banyak memuat ketentuan yang bersifat Ilusoir atau yang biasa disebut sebagai “pasal karet”.
Pelabelan komunis terhadap demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998 seolah-olah menegaskan bahwa komunis terus menjadi “kambing hitam” terhadap segala bentuk usaha yang ingin menggulingkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun tersebut. Setelah Orde Baru lengser dan diganti dengan Refornasi ternyata masih banyak rakyat yang menganggap bahwa siapa saja yang anti pemerintahan itu komunis. Keberhasilan Orde Baru menanamkan pemahaman seperti itu tidak terlepas dari lamanya mereka berkuasa, sehingga rakyat biasa bahkan mahasiswa yang notabene adalah intelektual kritis seakan terhegemoni oleh indoktrinisasi yang dilakukan Orde Baru tersebut.
Rekontruksi Pemikiran
Permasalan yang terjadi saat ini adalah bagaimana mengembalikan obyektifitas rakyat terutama generasi muda Indonesia terhadap sejarah yang selama ini tetanam dalam pemikiran mereka, karena belum tentu yang melakukan gerakan tiga puluh September 1965 itu secara keseluruhan adalah perbuatan PKI. Jika pun benar, tapi tidak sepatutnya juga penghakiman yang melebihi batas kemanusiaan diperlakukan kepada tahanan politik maupun keturunannya. Berbagai diskriminasi terhadap para anggota, keturunannya atau simpatisan PKI dan organisasi dibawahnya menjadi bukti bahwa ternyata pelanggaran Hak Asasi Manusia telah terjadi di Indonesia. Bagaimanapun juga mereka merupakan bagian dari bangsa ini, sehingga sudah tidak sepatutnya berbagai diskriminasi diterima mereka semuanya. Peristiwa 45 tahun silam memang jangan dilupakan karena hal itu merupakan sejarah bangsa dan negara ini, walaupun banyak versi mengenai peristiwa tersebut. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana hak-hak bekas anggota dan keturunan dari PKI itu jangan sampai dilanggar, karena mereka juga mempunyai hak yang sama dengan kita. . Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menjamin terhadap kebebasan pemikiran, berserikat dan berkumpul, seperti yang termaktub dalam Pasal 28 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya jaminan hal tersebut menjadi indikasi bahwa sebenarnya orang komunis pun punya hak yang sama dengan warga Negara lainnya dalam hal meyakini ideologinya berserikat dan berkumpul. Putusan revolusioner pun telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 telah memberikan jalan bagi bekas atau simpatisan Partai Komunis Indonesia beserta keturunannya untuk dipilh dan memilih dalam pemilihan umum. Dengan kata lain lambat laun memang sudah selayaknya mereka dikembalikan hak-haknya yang telah terampas selama rezim Orde Baru.
Sebagai generasi muda sudah saatnya kita melakukan rekontruksi pemikiran, yaitu pemikiran yang bersifat obyektif terhadap permasalahan bangsa dan negara ini.  Pemahaman generasi muda terhadap tragedi 1965 secara obyektif  harus terus dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dalam mimbar akademik yang ada di kampus-kampus dalam kegiatan diskusi ilmiah. Melalui diskusi-diskusi ilmiah tersebut pemahaman yang terlalu tendensius terhadap paham komunis akan lenyap dengan sendirinya. Membuka spectrum cakrawala pemikiran generasi muda terutama mahasiswa terhadap paham komunis menjadi hal yang niscaya untuk dilakukan. Mahasiswa sebagai intelektual muda dapat berfikir secara cerdaa terhadap pemahaman yang terjadi selama ini, bahwa labeling atau justifikasi Komunis/marxisme-Leninisme itu jahat atau berbahaya tidak benar. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membuka akses yang seluasnya terhadap bekas anggota simpatisan PKI beserta keturunannya dengan cara mencabut beberapa peraturan-perundang-udangan yang ada sampai saat ini, terutama yang mengatur tentang pelarangan Komunis/Marxisme-Leninisme di Indonesia. Selama pelarangan itu masih ada berarti pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh negara masih terjadi. Pencabutan tersebut diiringi dengan pemberian pendidikan politik kepada masyarakat terutama generasi muda agar nantinya mereka dapat menentukan sikap dalam partisipasi politiknya, baik itu komunis, sosialis, nasionalis maupun agamis. Tidak adanya Labelling yang mendiskreditkan salah satu paham atau keyakinan seseorang menjadi indikator majunya peradaban umat manusia dalam suatu negara, karena dapat menghargai pluralis yang merupakan fitrah  manusia, sebagai cara para generasi bangsa ini dalam menghayati makna dari Bhineka Tunggal Ika  yang menjadi semboyan bangsa dan negara kita tercinta.

Kekerasan Politik Yang Terjadi Pada Korban Peristiwa 1965


Menyembuhkan Luka Sejarah
Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965




Kekerasan Politik Yang Terjadi Pada Korban Peristiwa 1965


Rangkuman :
Peristiwa berdarah tahun 1965 adalah sebuah peristiwa sejarah yang kelam bagi bangsa dan negara ini. Peristiwa tersebut membawa akibat yang berdampak besar dan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia, terutama para tahanan politik beserta keturunannya yang menjadi korban terus-menerus sampai sekarang. Mereka sampai sekarang terus mendapatkan perlakuan diskriminasi baik dari pemerintah maupun masyarakat lainnya yang sudah terlanjur terhegemoni dengan pemikiran bahwa mereka itu jahat dan tidak pantas dikasihani. Semua pihak terutama dalam hal ini pemerintah harus mengambil beberapa kebijakan terkait masalah diskriminasi terhadap bekas tahanan politik beserta keturunannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu melalui pencabutan peraturan perundang-undangan yang jelas mendeskreditkan mereka, dan melakukan upaya rekonsiliasi terhadap para keluarga korban dengan bekas tahanan politik beserta keturunannya yang diindikasikan melakukan Gerakan Tiga Puluh September tersebut.








Gerakan tiga puluh September (G.30.S) yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 telah membuat luka yang menganga terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peristiwa tersebut menyebabkan banyak korban korban jiwa  yaitu para Jenderal di lingkungan Angkatan Darat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AD ABRI), yang sekarang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Setelah peristiwa tersebut terjadi setiap orang yang diduga terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa tersebut mengalami beberapa kekerasan politik.
Bentuk-bentuk kekerasan politik seperti; Kekerasan langsung (direct violence), Kekerasan tak langsung (indirect violence), Kekerasan Represif (repressive violence), Kekerasan Alienatif (alienating violence) merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang kerap berpotensi terjadi kepada para eks tahanan politik (tapol) Peristiwa '65 hingga hari ini.[1] Pembedaan ini berangkat sejak dikukuhkannya ketetapan oleh MPRS No. XXV/ MPRS/ 1966 yang menetapkan tentang pembubaran dan pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan/ mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Legitimasi konstitusional ini menghasilkan dictum-dictum yang dicantumkan dalam produk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mempertegas pola diskriminasi terhadap para eks tapol Peristiwa '65 dalam ketidak-jelasan status hukum serta dalam hubungan mereka di masyarakat dan negara.
Landscape ini termasuk di dalamnya adalah tentang keberadaan fenomena relatif berjalan ditempatnya penegakan HAM di Indonesia hingga hari ini, hal inilah kemudian yang memunculkan adanya definisi 'Korban' sebagai pihak yang dirugikan secara materiil maupun non-materiil pada konteks terjadinya pelanggaran HAM (Berat) di Indonesia. Kekerasan politik oleh negara terjadi ketika negara mengintervensi urusan-urusan yang secara normatif tidak boleh dicampuri, karena akan mengekang kebebasan individu dalam merealisasikan potensi dan aktualisasi diri setiap individu. Kausalitas ini membawa pada posisi yang gamblang tentang perlakuan diskriminatif terhadap para informan penelitian serta pada umumnya para korban Peristiwa '65 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam bentuk kekerasan politik yang tersistematisasi terjadi dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari sini dapat dipastikan bahwa negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalam yurisdiksinya tersebut. Hal Ini merupakan catatan bersama untuk menunjukan sesuatu yang hilang dalam analisa sosial yang terlanjur terhegemoni dalam masyarakat, dimana negara melalui elite politiknya telah meletakkan dirinya sebagai pelaku dan penanggung-jawab utama atas kekerasan politik yang dialami oleh para korban Peristiwa '65.
Rekonsiliasi Nasional  Sebagai Upaya Penghapusan Kekerasan Politik
Secara tersurat solusi mengenai hal ini secara jelas dan lugas telah diberikan ruang secara politik dan yuridis oleh Undang-undang dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Eksekutif, dalam hal ini tentu saja Presiden. Mekanisme Ekstra Yudicial sepatutnya di kedepankan oleh pemerintah, sebagai sebuah aternatif yang layak untuk menjadi perhatian terkait penyelesaian pelanggaran Ham masa lalu pada umumnya dan pelanggaran Ham dalam Peristiwa '65 pada khususnya. Selain alternatif ini merupakan alternatif yang konstitusional, alternatif ini juga selaras terkait rangkaian usaha pemerintah dalam rangka memantapan persatuan dan kesatuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kajian ilmu politik hal ini juga selaras terhadap pandangan metode win-win solution dalam penyelesaikan suatu konflik (politik) tertentu dalam korelasi negara dan rakyat. Tahapan menuju Rekonsiliasi Nasional ini dapat dideskripsikan secara umum sebagai berikut;
Tahap pertama haruslah berpijak terhadap kekuatan internal dari para eks tapol Peristiwa '65 sendiri untuk melakukan konsolidasi dan pengarahan tekanan politik sebesar-besarnya kepada presiden tentang pentingnya pengakuan terhadap peristiwa terkait atau terhadap suatu peristiwa pada kurun waktu tertentu. Dukungan yang di dapat sebelumnya dari Lembaga-lembaga swadaya maupun Lembaga Bantuan Hukum selain di gunakan sebagai back-up permasalahan litigasi, juga di dorong untuk melakukan perluasan koalisi pada tingkatan nasional dengan menjangkau hubungan kasus-kasus pelanggaran Ham yang terjadi sebelum diundangkannya UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU. No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Perluasan koalisi ini harus berdasarkan spesifikasi yang jelas terhadap kasus-kasus yang akan di rangkul, dimana kasus-kasus tersebut secara gejala memiliki kemiripan pola yang menimpa para eks tapol Peristiwa '65. Strategi ini tidak berarti menegasikan terhadap kasus-kasus pelanggaran Ham yang lain, pengelompokan ini hanya di gunakan untuk dapat mengelompokkan kasus-kasus berdasarkan skala prioritas yang bepijak pada tingkat pemahaman pelanggaran HAM berat yang terjadi. Pembangunan koalisi besar ini berguna untuk semakin memperuncing kontradiksi terhadap Presiden mengenai urgenitas penyelesaian masalah. Artinya tahapan ini harus dimulai dengan terlebih dahulu melakukan pembacaan geopolitik nasional konteks perjuangan yang akan dilakukan, serta pembacaan tentang adanya kemungkinan lembaga-lembaga internasional memberikan dukungannya terhadap perjuangan penegakan HAM di Indonesia yang sedang dilakukan. Mengenai kemungkinan munculnya peluang dukungan dari lembaga atau masyarakat internasional ini terkait dengan adanya konvensi tentang hak-hak solidaritas. Terkait dengan perimbangan kekuatan nasional, perlu di analisa pula tentang kemungkinan partai politik, baik partai pemerintah maupun pihak oposisi, yang dapat memberikan dukungannya terhadap perjuangan yang dilakukan.
Tahap kedua merupakan tahapan perjuangan politik, dimana bentuk strategi perjuangan ekstra parlementer-konstitusional masih tampak layak untuk digunakan. Pada tahap ini tahapan konsolidasi (analisa hukum kasus-kasus pelanggaran HAM, konsolidasi internal dan bangunan koalisi inti) sebaiknya telah selesai, akan tetapi bukan berarti kegiatan-kegiatan penggalangan dukungan ini berhenti. Kemungkinan-kemungkinan akan adanya penambahan dukungan harus tetap di perhatikan dan tetap dilakukan berbarengan dengan kerja-kerja organisasi dan politik. Pada ranah ini pembagian kerja kolektif sebaiknya telah terdistribusi dengan baik supaya tidak kontraproduktif terhadap kerja-kerja politik yang sedang dilakukan.
Tentang kegiatan-kegiatan monumental yang mencitrakan ruh Rekonsiliasi Nasional juga perlu untuk di adakan, pada kegiatan-kegiatan seperti inilah posisi internal dapat di optimalkan. Ruh Rekonsiliasi dimaksud di sini adalah, bahwa kegiatan yang diadakan tersebut merupakan kegiatan yang mengandung dan mensuratkan atas semangat dan nilai-nilai Rekonsiliasi Nasional itu sendiri. Pada kegiatan ini akan lebih tepat apabila dari pihak opponent dapat dihadirkan pula atau bahkan terlibat langsung dalam pengadaan kegiatan-kegiatan tersebut, mengenai hal ini tentu saja dibutuhkan usaha-usaha pendekatan terlebih dahulu agar terdapat pemahaman bersama mengenai tujuan kegiatan dan arah perjuangan yang dilakukan. Pembangunan citra dan itikad yang kuat tentang perlu adanya rekonsiliasi dalam kegiatan tersebut berfungsi selain merupakan tekanan juga berfungsi sebagai penyampai pesan kepada pemerintah mengenai kebulatan arah perjuangan.
Seperti yang telah di bahas sebelumnya tentang porsi presiden terkait kekuasaan dan kewenangannya atas Amnesti, dimana titik tolaknya adalah terletak pada pilihan tindakan politiknya untuk mengeluarkan Kepres tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam yurisdiksi NKRI. Rangkaian kerja dan kegiatan di atas pada hakekatnya di tujukan untuk memberikan tekanan dan dorongan dalam rangka memunculkan legitimasi dan keyakinan bagi presiden untuk mengeluarkan Kepres tentang suatu peristiwa tersebut. Dengan kata lain, setelah rangkaian kerja tersebut dilakukan, adanya political will dari Presiden untuk menindaklanjuti melalui Kepres tentang suatu peristiwa dalam rangka menuju Rekonsiliasi Nasional merupakan tahapan yang akan sangat diharapkan dari semua pihak yang terlibat.


DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. 2003. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH Universitas Indonesia.
Munaraya SW, Bagus. 2009 Kekerasan Politik  Pada Korban Peristiwa '65 Di Kabupaten Banyumas. Purwokerto : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman.
Radjab, Suryadi. 2002. INDONESIA: HILANGNYA RASA AMAN. Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik Indonesia. Jakarta. PBHI dan The Asia Foundation Jakarta.


[1] Bagus Munaraya SW,  2009, Kekerasan Politik  Pada Korban Peristiwa '65 Di Kabupaten Banyumas, Purwokerto. : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman Hlm 20.