Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

Kekerasan Politik Yang Terjadi Pada Korban Peristiwa 1965


Menyembuhkan Luka Sejarah
Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965




Kekerasan Politik Yang Terjadi Pada Korban Peristiwa 1965


Rangkuman :
Peristiwa berdarah tahun 1965 adalah sebuah peristiwa sejarah yang kelam bagi bangsa dan negara ini. Peristiwa tersebut membawa akibat yang berdampak besar dan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia, terutama para tahanan politik beserta keturunannya yang menjadi korban terus-menerus sampai sekarang. Mereka sampai sekarang terus mendapatkan perlakuan diskriminasi baik dari pemerintah maupun masyarakat lainnya yang sudah terlanjur terhegemoni dengan pemikiran bahwa mereka itu jahat dan tidak pantas dikasihani. Semua pihak terutama dalam hal ini pemerintah harus mengambil beberapa kebijakan terkait masalah diskriminasi terhadap bekas tahanan politik beserta keturunannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu melalui pencabutan peraturan perundang-undangan yang jelas mendeskreditkan mereka, dan melakukan upaya rekonsiliasi terhadap para keluarga korban dengan bekas tahanan politik beserta keturunannya yang diindikasikan melakukan Gerakan Tiga Puluh September tersebut.








Gerakan tiga puluh September (G.30.S) yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 telah membuat luka yang menganga terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peristiwa tersebut menyebabkan banyak korban korban jiwa  yaitu para Jenderal di lingkungan Angkatan Darat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AD ABRI), yang sekarang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Setelah peristiwa tersebut terjadi setiap orang yang diduga terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa tersebut mengalami beberapa kekerasan politik.
Bentuk-bentuk kekerasan politik seperti; Kekerasan langsung (direct violence), Kekerasan tak langsung (indirect violence), Kekerasan Represif (repressive violence), Kekerasan Alienatif (alienating violence) merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang kerap berpotensi terjadi kepada para eks tahanan politik (tapol) Peristiwa '65 hingga hari ini.[1] Pembedaan ini berangkat sejak dikukuhkannya ketetapan oleh MPRS No. XXV/ MPRS/ 1966 yang menetapkan tentang pembubaran dan pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan/ mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Legitimasi konstitusional ini menghasilkan dictum-dictum yang dicantumkan dalam produk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mempertegas pola diskriminasi terhadap para eks tapol Peristiwa '65 dalam ketidak-jelasan status hukum serta dalam hubungan mereka di masyarakat dan negara.
Landscape ini termasuk di dalamnya adalah tentang keberadaan fenomena relatif berjalan ditempatnya penegakan HAM di Indonesia hingga hari ini, hal inilah kemudian yang memunculkan adanya definisi 'Korban' sebagai pihak yang dirugikan secara materiil maupun non-materiil pada konteks terjadinya pelanggaran HAM (Berat) di Indonesia. Kekerasan politik oleh negara terjadi ketika negara mengintervensi urusan-urusan yang secara normatif tidak boleh dicampuri, karena akan mengekang kebebasan individu dalam merealisasikan potensi dan aktualisasi diri setiap individu. Kausalitas ini membawa pada posisi yang gamblang tentang perlakuan diskriminatif terhadap para informan penelitian serta pada umumnya para korban Peristiwa '65 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam bentuk kekerasan politik yang tersistematisasi terjadi dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari sini dapat dipastikan bahwa negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalam yurisdiksinya tersebut. Hal Ini merupakan catatan bersama untuk menunjukan sesuatu yang hilang dalam analisa sosial yang terlanjur terhegemoni dalam masyarakat, dimana negara melalui elite politiknya telah meletakkan dirinya sebagai pelaku dan penanggung-jawab utama atas kekerasan politik yang dialami oleh para korban Peristiwa '65.
Rekonsiliasi Nasional  Sebagai Upaya Penghapusan Kekerasan Politik
Secara tersurat solusi mengenai hal ini secara jelas dan lugas telah diberikan ruang secara politik dan yuridis oleh Undang-undang dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Eksekutif, dalam hal ini tentu saja Presiden. Mekanisme Ekstra Yudicial sepatutnya di kedepankan oleh pemerintah, sebagai sebuah aternatif yang layak untuk menjadi perhatian terkait penyelesaian pelanggaran Ham masa lalu pada umumnya dan pelanggaran Ham dalam Peristiwa '65 pada khususnya. Selain alternatif ini merupakan alternatif yang konstitusional, alternatif ini juga selaras terkait rangkaian usaha pemerintah dalam rangka memantapan persatuan dan kesatuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kajian ilmu politik hal ini juga selaras terhadap pandangan metode win-win solution dalam penyelesaikan suatu konflik (politik) tertentu dalam korelasi negara dan rakyat. Tahapan menuju Rekonsiliasi Nasional ini dapat dideskripsikan secara umum sebagai berikut;
Tahap pertama haruslah berpijak terhadap kekuatan internal dari para eks tapol Peristiwa '65 sendiri untuk melakukan konsolidasi dan pengarahan tekanan politik sebesar-besarnya kepada presiden tentang pentingnya pengakuan terhadap peristiwa terkait atau terhadap suatu peristiwa pada kurun waktu tertentu. Dukungan yang di dapat sebelumnya dari Lembaga-lembaga swadaya maupun Lembaga Bantuan Hukum selain di gunakan sebagai back-up permasalahan litigasi, juga di dorong untuk melakukan perluasan koalisi pada tingkatan nasional dengan menjangkau hubungan kasus-kasus pelanggaran Ham yang terjadi sebelum diundangkannya UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU. No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Perluasan koalisi ini harus berdasarkan spesifikasi yang jelas terhadap kasus-kasus yang akan di rangkul, dimana kasus-kasus tersebut secara gejala memiliki kemiripan pola yang menimpa para eks tapol Peristiwa '65. Strategi ini tidak berarti menegasikan terhadap kasus-kasus pelanggaran Ham yang lain, pengelompokan ini hanya di gunakan untuk dapat mengelompokkan kasus-kasus berdasarkan skala prioritas yang bepijak pada tingkat pemahaman pelanggaran HAM berat yang terjadi. Pembangunan koalisi besar ini berguna untuk semakin memperuncing kontradiksi terhadap Presiden mengenai urgenitas penyelesaian masalah. Artinya tahapan ini harus dimulai dengan terlebih dahulu melakukan pembacaan geopolitik nasional konteks perjuangan yang akan dilakukan, serta pembacaan tentang adanya kemungkinan lembaga-lembaga internasional memberikan dukungannya terhadap perjuangan penegakan HAM di Indonesia yang sedang dilakukan. Mengenai kemungkinan munculnya peluang dukungan dari lembaga atau masyarakat internasional ini terkait dengan adanya konvensi tentang hak-hak solidaritas. Terkait dengan perimbangan kekuatan nasional, perlu di analisa pula tentang kemungkinan partai politik, baik partai pemerintah maupun pihak oposisi, yang dapat memberikan dukungannya terhadap perjuangan yang dilakukan.
Tahap kedua merupakan tahapan perjuangan politik, dimana bentuk strategi perjuangan ekstra parlementer-konstitusional masih tampak layak untuk digunakan. Pada tahap ini tahapan konsolidasi (analisa hukum kasus-kasus pelanggaran HAM, konsolidasi internal dan bangunan koalisi inti) sebaiknya telah selesai, akan tetapi bukan berarti kegiatan-kegiatan penggalangan dukungan ini berhenti. Kemungkinan-kemungkinan akan adanya penambahan dukungan harus tetap di perhatikan dan tetap dilakukan berbarengan dengan kerja-kerja organisasi dan politik. Pada ranah ini pembagian kerja kolektif sebaiknya telah terdistribusi dengan baik supaya tidak kontraproduktif terhadap kerja-kerja politik yang sedang dilakukan.
Tentang kegiatan-kegiatan monumental yang mencitrakan ruh Rekonsiliasi Nasional juga perlu untuk di adakan, pada kegiatan-kegiatan seperti inilah posisi internal dapat di optimalkan. Ruh Rekonsiliasi dimaksud di sini adalah, bahwa kegiatan yang diadakan tersebut merupakan kegiatan yang mengandung dan mensuratkan atas semangat dan nilai-nilai Rekonsiliasi Nasional itu sendiri. Pada kegiatan ini akan lebih tepat apabila dari pihak opponent dapat dihadirkan pula atau bahkan terlibat langsung dalam pengadaan kegiatan-kegiatan tersebut, mengenai hal ini tentu saja dibutuhkan usaha-usaha pendekatan terlebih dahulu agar terdapat pemahaman bersama mengenai tujuan kegiatan dan arah perjuangan yang dilakukan. Pembangunan citra dan itikad yang kuat tentang perlu adanya rekonsiliasi dalam kegiatan tersebut berfungsi selain merupakan tekanan juga berfungsi sebagai penyampai pesan kepada pemerintah mengenai kebulatan arah perjuangan.
Seperti yang telah di bahas sebelumnya tentang porsi presiden terkait kekuasaan dan kewenangannya atas Amnesti, dimana titik tolaknya adalah terletak pada pilihan tindakan politiknya untuk mengeluarkan Kepres tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam yurisdiksi NKRI. Rangkaian kerja dan kegiatan di atas pada hakekatnya di tujukan untuk memberikan tekanan dan dorongan dalam rangka memunculkan legitimasi dan keyakinan bagi presiden untuk mengeluarkan Kepres tentang suatu peristiwa tersebut. Dengan kata lain, setelah rangkaian kerja tersebut dilakukan, adanya political will dari Presiden untuk menindaklanjuti melalui Kepres tentang suatu peristiwa dalam rangka menuju Rekonsiliasi Nasional merupakan tahapan yang akan sangat diharapkan dari semua pihak yang terlibat.


DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. 2003. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH Universitas Indonesia.
Munaraya SW, Bagus. 2009 Kekerasan Politik  Pada Korban Peristiwa '65 Di Kabupaten Banyumas. Purwokerto : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman.
Radjab, Suryadi. 2002. INDONESIA: HILANGNYA RASA AMAN. Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik Indonesia. Jakarta. PBHI dan The Asia Foundation Jakarta.


[1] Bagus Munaraya SW,  2009, Kekerasan Politik  Pada Korban Peristiwa '65 Di Kabupaten Banyumas, Purwokerto. : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman Hlm 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar