Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

BHINEKA TIDAK TUNGGAL IKA DALAM BERAGAMA


BHINEKA TIDAK TUNGGAL IKA DALAM BERAGAMA
Sayatan Masalah
Badai krisis multidimensial yang melanda dan merongrong negeri  ini sejak reformasi bergulir belum juga mereda. Semakin lama persoalan yang menghinggapi bangsa dan negara ini semakin menumpuk tapi tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. Ketika persoalan-persoalan seperti masalah ekonomi teroris, pendidikan, kesejahteraan rakyat belum tuntas diselesaikan, muncul persoalan  baru yang datang seperti kasus konflik warga Kampung Ciketing Asem dengan jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi. Konflik warga tersebut membuar daftar panjang konflik yang berbau SARA (suku, ras dan agama) yang melanda negeri ini. Konflik tersebut sesungguhnya mencerminkan belum siapnya mental masyarakat Indonesia dalam menerima keberagaman atau pluralitas yang ada. Pada tingkat mental ini masyarakat Indonesia belum mampu secara sadar untuk menghormati dan menghargai pluralitas seperti toleransi maupun dialog dalam kehidupannya.
Apabila melihat ke perkembangan sejarah umat manusia dalam menghargai keberagagaman (pluralitas) masyarakatnya dapat dilihat dalam Piagam Madinah pada jaman Islam baru berkembang di jazirah Arab sekitar abad ke-7 masehi. Dalam Piagam yang fenomenal tersebut disebutkan bahwa orang-orang yang ada di madinah baik itu Islam, Kristen, Yahudi dan orang-orang Majusi dapat hidup berdampingan dengan aman dan tenteram, serta juga wajib menjaga dan melindungi kota Madinah dari serangan pihak luar. Sedangkan dalam sejarah bangsa ini semangat pluralitas juga menggema ketika jaman kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang menancapkan kekuasaannya keseluruh penjuru Nusantara. Pada saat itu semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu” terus dikumandangkan dalam menjaga keutuhan kerajaan Majapahit dari perpecahan. Semboyan tersebut juga akhirnya mengilhami kebangkitan nasional pada awal abad ke-20 yaitu Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan tentunya Peristiwa “Sumpah Pemuda” pada tahun 1928 yang menanamkan semangat menyatukan ke-bhinekaan, toleransi dan semangat untuk berjuang secara bersama-sama untuk bebas dari penjajahan Belanda pada saat itu.
Awal kemerdekaan semangat pluralitas negara ini begitu berkobar karena semua orang sedang terhegemoni kemerdekaan yang baru direngkuhnya sehingga konflik yang menyinggung keberagaman dalam masyarakat belum terlihat. Tetapi ketika diakhir Orde Lama dan saat Orde Baru berkuasa di negeri ini rasa toleransi terhadap kebhinekaan menjadi semu karena hanya pluralisme atau toleransi terhadap kebhinekaan diperlihatkan permukaannya saja sehingga menjadi pseudopluralism atau “pluralisme palsu”. Hal tersebut disebabkan toleransi terhadap kebhinekaan (pluralitas) hanya diajarkan dalam pendidikan secara formal saja, seperti menghormati agama, adat istiadat antar sesama warga negara yang diajarkan hanya sebatas yang ada di dalam kurikulum  semata. Sedangkan pemberian pemahaman dalam kehidupan masyarakat sangat jarang dilakukan, padahal tersebut merupakan res publica atau “urusan bersama” seluruh komponen bangsa dan negara ini.
Rontoknya Toleransi Kebhinekaan dalam Beragama
Gegap gempita reformasi pada tahun 1997-an ternyata justru membuat rasa menghormati terhadap kebhinekaan yang ada di masyarakat semakin terkikis. Reformasi telah membuat kebebasan di salah artikan oleh masyarakat sehingga menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat dengan mengatasnamakan kebebasan. Kebebasan yang terkesan kebablasan karena justru menumbuhkan rasa ingin menang sendiri atau egosentris kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok lainnya di suatu wilayah tertentu.
“Freedom Of Religion” atau yang berarti kebebasan untuk beragama adalah semboyan yang  dikumandangkan oleh Franklin D’elano Rosevelt terhadap seluruh umat manusia untuk bebas memeluk agama yang diyakininya. Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal pun menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi yang tidak bisa dicabut dalam bentuk apapun.  Sehingga dalam tatanan dunia yang beradab diperlukan toleransi untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan yang ada diantara masing-masing pemeluk agama.
Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan berates-ratus suku bangsa, adat istiadat dan beraneka ragamnya agama yang dianut oleh bangsa ini menunjukan bahwa negara ini sangat rentan dengan gesekan-gesekan yang akan menyulut konflik dalam masyarakat. Pengkotak-kotakan masyarakat sudah tersegmentasi  terutama dalam beragama membuat masing-masing pemeluk agama terkesan memandang cuma agamanya yang paling benar sedangkan agama yang lainnya dianggap lebih rendah daripada agamanya.
Konflik di Ambon, Poso adalah sekelumit dari konflik yang terjadi dimasyarakat yang mengatasnamakan agama. Konflik tersebut menjadi cermin bahwa rasa toleransi untuk saling menghargai dan menghormati masih belum ada sepenuhnya dalam pikiran masyarakat Indonesia. Fanatisme dan Radikalisme yang berlebihan terhadap agama yang masyarakat negeri ini anut menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya konflik yang terjadi dimasyarakat.
Kita dapat melihat adanya organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu bertindak main hakim sendiri  (eigenrichting) dalam rangka menjalankan ajaran agamanya dalam memberantas perbuatan yang mereka katakan  “maksiat”. Mereka tak segan-segan merusak barang bahkan bertindak anarkis terhadap orang-orang yang menentangnya. Termasuk dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan mereka seolah-olah yang paling benar. Mungkin kita masih ingat terjadinya insiden di Monas beberapa waktu lalu antara ormas Front Pembela Islam dengan masyarakat yang melakukan unjuk rasa dalam solidaritas terhadap penekanan kepada jemaah Ahmadiyah. Masih segar di ingatan kita terkait kasus HKBP di Bekasi telah menyiratkan bahwa memang di Indonesia toleransi terhadap perbedaan yang ada terutama dalam hal beragama sangat kurang. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan pihak yang terkait belum mampu menciptakan kerukunan antar umat agama yang ada di Indonesia.    
Benih-benih Kebencian Masa Lalu
Egosentris atau keegoisan masing-masing umat pemeluk agama terhadap agama yang dianutnya, serta misionaris/dakwah yang terus dilakukan oleh masing-masing pihak menjadi pangkal utama permasalahan umat beragama di Indonesia saat ini.  Hal tersebut mungkin terlihat seperti perang salib jilid II terjadi di Indonesia, karena melihat dari berbagai konflik agama yang terjadi di Indonesia itu terkesan hanya pemeluk agama Islam dengan Kristen. Walaupun hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar karena setiap aliran ataupun mahzab dari masing-masing agama itu selalu timbul pertentangan yang pada ujungnya saling menyalahkan satu sama lain.
Dua kelompok agama terbesar di Indonesia, yakni Islam dengan Kristen menjadi garda terdepan dalam berbagai kasus konflik beragama, tetapi bukan berarti memojokan kedua pemeluk agama tersebut. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan karena daya psikologis sejarah yang terjadi antara kedua agama tersebut ketika terjadi perang salib pada abad ke 11 yang terus terhanyutkan pemikirannya sampai sekarang. Sebutan orang Islam untuk pemeluk Kristen atau Yahudi adalah “Kafir” ataupun “domba-domba tersesat” untuk orang Islam oleh pemeluk Kristen telah menjadi semacam paradigma bahwa masing-masing agama tersebut yang paling benar sedangkan agama lain adalah salah. Padahal dalam masing-masing agama dikatakan harus saling menyayangi mengasihi dan menghargai terhadap sesama manusia. Sebagai gambaran, dalam hal pendirian tempat ibadah masing-masing agam saja sudah terlihat tidak ada toleransi, misalnya apabila hendak mendirikan gereja di wilayah yang meyoritas beragama Islam seperti kasus HKBP di kampung Ciketing sangat sulit dilakukan karena adanya penolakan dari masyarakat yang mayoritas bergama Islam tersebut. Sedangkan apabila umat Islam ingin mendirikan Mesjid di daerah yang mayoritas Kristen seperti di Papua, itu sulit dilakukan karena penolakan masyarakat setempat. Kecurigaan yang disertai penolakan umat beragama tersebut terhadap agama lain pada akhirnya meniadakan toleransi yang seharusnya dilakukan terhadap perbadaan yang ada. Kecenderungan homo homini lupus atau “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” seperti yang diutarakan oleh Thomas Hobbes seakan tercermin dari konflik yang terjadi tersebut. Sikap kebersamaan atau kolektifitas bangsa ini seakan hancur lebur ketika dalam kebersamaan itu tidak ada toleransi didalam masyarakat.
Menumbuhkan Sikap Toleransi Untuk Mencegah Perpecahan Bangsa
Perkembangan toleransi terhadap keberagaman dalam tatanan global telah menciptakan suatu ruang yang sangat kompleks, dengan adanya pemahaman agama yang beraneka ragam,   membuat seolah-olah dunia ini adalah “hutan rimba agama yang plural”. Ditengah hutan rimba yang lebat dan kompleks tersebut konflik masing-masing makhluk yang didalamnya akan selalu terpancing. Agama yang berasal dari bahasa sanskerta yang berarti “tidak kacau” harus terlaksana dalam jurang perbedaan agama yang ada.
Memang setiap manusia mempunyai hak asasi dalam mengeluarkan pendapat ataupun pemikirannya, namun yang disayangkan ketika pendapat atau pemikirannya terhadap perbedaan yang ada ditunjukan secara terang-terangan terhadap orang yang berbeda pemikiran, keyakinan ataupun agama dengannya. Hal tersebut tentu saja dapat memicu geseka-gesekan antar umat beragama.
Upaya meretas kembali penanaman kesadaran toleransi antar umat beragama harus dilakukan baik dalam pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal seperti dalam kegiatan agamanya masing-masing. Pola pikir bangasa ini selayaknya diubah menjadi “satu dalam perbedan” bukan “perbedaan untuk satu”. Negara ini adalah negara yang beragama bukan negara atas agama sehingga pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus senantiasa berusaha terus menerus untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah mengadakan dialog lintas agama yang intinya menyerukan toleransi beragama antar umat beragama. Manusia memeluk agama pada hakekatnya sama yaitu hubungan transedental dengan penciptanya (Tuhan), Cuma metodenya yang berbeda, sehingga seharusnya jangan jadikan perbedaan menjadi permusuhan. Interaksi antar umat beragama hendaknya selalu terjalin harmonis dan hapuskan pola pikir saling curiga, musuh-memusuhi antar umat beragama dan jangan mementingkan keegoisan kelompoknya masing-masing. Kemudian cara refresif yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggulangi konflik yang terjadi adalah dengan bertindak tegas terhadap oknum masyarakat yang sengaja memprovokasi masalah sehingga menimbulkan konflik diantara masyarakat yang majemuk tersebut. Ataupun menindak tegas kelompok masyarakat yang main hakim sendiri dan membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih agama tertentu. Upya pencegahan dan penanggulangan mutlak dilakukan secara terus-menurus untuk menghilangkan perpecahan dan menumbuhkan toleransi terhadap perbedaan.
Sekedar pengingat bahwa bangsa ini merdeka karena persatuan dan kesatuan diantara perbedaan yang melatar belakangi pejuang-pejuang kemerdekaan bangsa ini. Selain itu semangat membangun diri dengan toleransi terhadap perbedaan yang ada harus dijadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini, untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang beradab, “ramah tamah gemah ripah loh jinawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar