Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

Sebuah Pemaknaan Sejarah Terhadap Tragedi 1965


Menyembuhkan Luka Sejarah
Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965


Sebuah Pemaknaan Sejarah Terhadap Tragedi 1965


Rangkuman :
Pelabelan Komunisme adalah ideologi jahat yang akan membahayakan kehidupan bangsa dan negara ini sudah saatnya untuk direkontuksi ulang. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya justifikasi atau pelabelan yang belum tentu terbukti secara benar kenyataanya adalah tidak tepat. Tragedi 1965 dalam hal ini Gerakan Tiga puluh September selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah semasa rezim Orde Baru adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia beserta organisasi dibawahnya. Banyaknya versi yang mengungkap peristiwa tersebut menjadi indikasi bahwa kebenaran PKI dinbalik itu tragedi tersebut belum dapat di ketahui secara pasti kebenarannya. Sebagai genarasi muda sudah saatnya kita melakukan rekontruksi pemikiran terhadap pelabelan yang menyeret sebuah ideologi, yaitu Komunisme melalui beberapa cara diantaranya adalah mengadakan diskusi ilmiah mengenai ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang mendalam mengenai ajaran tersebut berbahaya atau tidak bagi kelangsungan kehidupan suatu bangsa dan negara.






Suatu ketika seorang mahasiswa yang terkenal sebagai aktivis mengajak temannya untuk melakukan demonstrasi kepada pemerintah,  ia berujar “hey broer, ikut demo kepada pemerintah sama aku yuk?”, lalu temannya menanyakan kembali “emangnya demo apaan?” aktivis tersebut kemudian menjawab “demo menolak kebijakan komersialisasi pendidikan di Inddonesia, karena pemerintah ini sudah sangat jelas telah lepas dari tanggungjawabnya dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah sepatutnya mereka lengser dari kekuasaannya”. Temannya dengan nada sinis berujar “Kamu komunis ya?” pertanyaan sekaligus justifikasi tersebut seolah-olah menjadi  petir di siang hari, mengapa mahasiswa yang mengkritik atau melakukan demonstrasi diidentikan dengan orang komunis?
Pertanyaan tersebut selalu muncul dalam benak penulis ketika melihat mahasiswa yang menjadi aktivis dilabeli komunis. Bentuk labeling seperti itu sudah pasti hasil indoktrinasi pemikiran secara terus-menerus. Rezim Orde Baru yang menguasai pemerintahan negeri ini selama 32 tahun menjadi aktor dibalik indoktrinisasi yang diajalnkan secara terus menerus kepada rakyat Indonesia agar mereka benci komunis. Kaum komunis dianggap selalu ingin mengkudeta atau merebut kekuasaan terhadap pemerintah sehingga harus disingkirkan. Politik media yang menggembar-gemborkan bahwa gerakan tiga puluh September 1965 merupakan gerakan kudeta yang dijalankan Partai Komunis Indoesia beserta underbow atau afiliasi PKI dan atas jasa Soeharto gerakan tersebut ditumpas, begitu tertanam kuat dalam benak mayoritas rakyat Indonesia yang tidak mengetahui secara pasti kejadian sebenarnya.  Ketika Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto menguasai pemerintahan di Indonesia, maka pemberantasan Partai Komunis Indonesia sampai keakarnya terus digencarkan sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Setiap orang yang dituduh komunis sudah pasti mengalami berbagai kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Untuk melanggengkan kekuasaannya maka Soeharto dan kawan-kawan menganggap serta melabeli setiap orang yang membenci atau mengkritik pemerintahannya adalah komunis. Rezim Orde Baru tidak segan-segan bersikap refresif kepada siapa saja yang anti terhadap pemerintahannya. hal tersebuut diakomodir dengan Undang-Undang tentang subversif yang kini telah dicabut, yang didalamnya banyak memuat ketentuan yang bersifat Ilusoir atau yang biasa disebut sebagai “pasal karet”.
Pelabelan komunis terhadap demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998 seolah-olah menegaskan bahwa komunis terus menjadi “kambing hitam” terhadap segala bentuk usaha yang ingin menggulingkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun tersebut. Setelah Orde Baru lengser dan diganti dengan Refornasi ternyata masih banyak rakyat yang menganggap bahwa siapa saja yang anti pemerintahan itu komunis. Keberhasilan Orde Baru menanamkan pemahaman seperti itu tidak terlepas dari lamanya mereka berkuasa, sehingga rakyat biasa bahkan mahasiswa yang notabene adalah intelektual kritis seakan terhegemoni oleh indoktrinisasi yang dilakukan Orde Baru tersebut.
Rekontruksi Pemikiran
Permasalan yang terjadi saat ini adalah bagaimana mengembalikan obyektifitas rakyat terutama generasi muda Indonesia terhadap sejarah yang selama ini tetanam dalam pemikiran mereka, karena belum tentu yang melakukan gerakan tiga puluh September 1965 itu secara keseluruhan adalah perbuatan PKI. Jika pun benar, tapi tidak sepatutnya juga penghakiman yang melebihi batas kemanusiaan diperlakukan kepada tahanan politik maupun keturunannya. Berbagai diskriminasi terhadap para anggota, keturunannya atau simpatisan PKI dan organisasi dibawahnya menjadi bukti bahwa ternyata pelanggaran Hak Asasi Manusia telah terjadi di Indonesia. Bagaimanapun juga mereka merupakan bagian dari bangsa ini, sehingga sudah tidak sepatutnya berbagai diskriminasi diterima mereka semuanya. Peristiwa 45 tahun silam memang jangan dilupakan karena hal itu merupakan sejarah bangsa dan negara ini, walaupun banyak versi mengenai peristiwa tersebut. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana hak-hak bekas anggota dan keturunan dari PKI itu jangan sampai dilanggar, karena mereka juga mempunyai hak yang sama dengan kita. . Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menjamin terhadap kebebasan pemikiran, berserikat dan berkumpul, seperti yang termaktub dalam Pasal 28 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya jaminan hal tersebut menjadi indikasi bahwa sebenarnya orang komunis pun punya hak yang sama dengan warga Negara lainnya dalam hal meyakini ideologinya berserikat dan berkumpul. Putusan revolusioner pun telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 telah memberikan jalan bagi bekas atau simpatisan Partai Komunis Indonesia beserta keturunannya untuk dipilh dan memilih dalam pemilihan umum. Dengan kata lain lambat laun memang sudah selayaknya mereka dikembalikan hak-haknya yang telah terampas selama rezim Orde Baru.
Sebagai generasi muda sudah saatnya kita melakukan rekontruksi pemikiran, yaitu pemikiran yang bersifat obyektif terhadap permasalahan bangsa dan negara ini.  Pemahaman generasi muda terhadap tragedi 1965 secara obyektif  harus terus dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dalam mimbar akademik yang ada di kampus-kampus dalam kegiatan diskusi ilmiah. Melalui diskusi-diskusi ilmiah tersebut pemahaman yang terlalu tendensius terhadap paham komunis akan lenyap dengan sendirinya. Membuka spectrum cakrawala pemikiran generasi muda terutama mahasiswa terhadap paham komunis menjadi hal yang niscaya untuk dilakukan. Mahasiswa sebagai intelektual muda dapat berfikir secara cerdaa terhadap pemahaman yang terjadi selama ini, bahwa labeling atau justifikasi Komunis/marxisme-Leninisme itu jahat atau berbahaya tidak benar. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membuka akses yang seluasnya terhadap bekas anggota simpatisan PKI beserta keturunannya dengan cara mencabut beberapa peraturan-perundang-udangan yang ada sampai saat ini, terutama yang mengatur tentang pelarangan Komunis/Marxisme-Leninisme di Indonesia. Selama pelarangan itu masih ada berarti pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh negara masih terjadi. Pencabutan tersebut diiringi dengan pemberian pendidikan politik kepada masyarakat terutama generasi muda agar nantinya mereka dapat menentukan sikap dalam partisipasi politiknya, baik itu komunis, sosialis, nasionalis maupun agamis. Tidak adanya Labelling yang mendiskreditkan salah satu paham atau keyakinan seseorang menjadi indikator majunya peradaban umat manusia dalam suatu negara, karena dapat menghargai pluralis yang merupakan fitrah  manusia, sebagai cara para generasi bangsa ini dalam menghayati makna dari Bhineka Tunggal Ika  yang menjadi semboyan bangsa dan negara kita tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar