Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

KOMENTAR TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


KOMENTAR  TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

RUU Keistimewaan Yogyakarta menjadi suatu polemik yang hangat dibicarakan selama satu bulan terakhir ini. Masalah yang paling banyak menjadi kontroversi adalah menngenai pengisian jabatan Gubernur propinsi Yogyakarta yang akan dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Reaksi mengenai usul RUU tersebut yang draftnya masih di pemerintah mengundang berabagai polemic seperti demonstrasi di berbagai tempat di Yogyakarta. Sejak Kesultanan Ngayogyakarta bergabung ke Negara Kesatuan republic Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia, Gubernur Yogyakarta memang adalah Sultan Hamengkubuwono IX dampai beliau wafat pada tahun 1983 dan setelah itu diganti oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X sampai sekarang. Masyarakat Yogyakarta terkesan sangat kaget mendengar adanya RUU yang nantinya akan menyebabkan Gubernur Yogyakarta di pilih secara langsung, tentu saja mereka geram karena selama ini pemimpin Yogyakarta adalah Sri Sultan sendiri. Adanya mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat menurut penulis karena kurang pahamnya pemerintah pada sejarah dari Yogyakarta. Patut diingat bahwa Yogyakarta adalah satu Negara berdaulat saat bergabung untuk menjadi salah satu Provinsi di Indonesia ketika Indonesia baru menjadi Negara, sehingga presiden Soekarno pun saat itu menghargai keistimewaan Yogyakarta begitu halnya ketika Rezim Soeharto berkuasa di Indonesia status Yogyakarta terutama dalam hal kepala daerah yaitu Sri Sultan dan Paku Alam  tidak pernah di usik oleh pemerintah pusat.
Penulis cenderung berpendapat bahwa Pemerintah kurang bijak dalam mengajukan RUU yang menurut penulis hanya menjadikan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai simbol daerah saja. Hal tersebut disebabkan dalam draft RUU tersebut lembaga Parardhya hanya menjadi symbol dan penjaga kebudayaan daerah Provinsi Yogyakarta. Dengan demikian Sri Sultan dan Paku Alam tidak mempunyai kewenangan yang teknis karena Parardhya hanya dapat memberikan rekomendasi-rekomendas atau memberikan usulansi terhadap jalannya pemerintah daerah Yogyakarta. Pemakjulan atau lebih ekstrimnya adalah Impeachment terhadap Sri Sultan dan Paku Alam oleh Pemerintah pusat dan hal tersebut sangat tidak etis karena sejarah lahirnya Negara ini terpisah dengan Yogyakarta yang memang sudah menjadi Negara sebelum Indonesia merdeka, sehingga sudah tidak sepatutnya Pemerintah Pusat membuat Sri Sultan dan Paku Alam sebagai simbol daerah saja.
RUU tersebut juga masih terdapat kekurangan yaitu apabila Sri Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri menjadi Gubernur menjadi sebuah tanda Tanya siapakah yang akan menjadi lembaga Parardhyanya? Dalam RUU tersebut tidak mengaturnya dengan jelas sehingga dari segi subtansi masih sangat mentah. Dalam RUU tersebut juga tidak diatur berapa lama masa peralihan sampai diasakannya pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat.
Terlepas dari berbagai kelemahan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut yang menandakan masih sangat mentahnya RUU tersebut, penulis tetap berpendapat bahwa RUU tersebut tidak seharusnya diberlakukan untuk dareh istimewa Yogyakarta, karena penulis yakin nantinya akan terjadi penolakan besar-besaran dari masyarakat Yogyakarta yang akan menimbulkan Chauvinisme di Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja berbahaaya bagi keutuhan bangsa dan Negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar