
Aktif di Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum UNSOED, Lembaga Kajian Hukum dan Sosial FH UNSOED, Pro Justitia FH UNSOED. Sekarang bekerja di National Urban Developing House
Entri Populer
-
Analogi Antisipasi 1. Seperti halnya tubuh manusia yang membutuhkan makanan, mesin pun membutuhkan bahan bakar. 2. Seperti ha...
-
Kebijakan Resosialisasi Prostitusi Masalah prostitusi sebagai salah satu fenomena sosial ...
-
Dalam memenuhi kebutuhannya, oran g selalu mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam mereka saling berhubungan ...
Sabtu, 21 April 2012
Tugas Belajar sambil Karya Wisata di Karimun Jawa
Adalah Aradea Bujana seorang mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman jurusan Biologi, menceritakan betapa dahsyatnya potensi kelautan di Negei Indonesia. Hal tersebut tak dipungkirinya ketika melaksanakan tugas belajar disana untuk meneliti kehidupan laut di daerah Karimun Jawa. program yang dilaksanakan selama beberapa hari tersebut telah memberikan kesan mendalam bagi seorang mahasiswa seperti dirinya.
Banyaknya keanekaragaman hayati disana membuat dirinya terkesima dengan keindahan alam bawah laut disana. Bagi mahasiswa ini alam sudah dianggap teman sejati hidupnya, makanya ketika melakksanakan Kuliah Keja Nyata fdirinya lebih memilih mengikuti program mitigasi bencana di daerah magelang pasca bencana meletusnya gunungu Merapi.
Dirinya menyayangkan karena peran dari Pemda Jateng yang terkesan kurang begitu memperhatikan terhadap kawasan yang menurut dirinya sangat patut dijadikan kawasan ekowisata. Dirinya berharap juga pada penduduk sekitar untuk tidak merusak terumbu karang oleh bom untuk menangkap ikan, karena begitu kompleksnya terumbu karang disana. "Janganlah dulu ke Bunaken sebelum mencoba sensasi diving di Karimun Jawa" tandasnya.
m
Regenerasi Pegawai Perum PERUMNAS
Sudah menjadi suatu keharusan dalam sebuah organisasi terutama perusahaan melakukan proses rekruitmen pegawai untuk meregenari pegawainya. Perum Perumnas sebagai BUMN pembangunan perumahan terbesar se-Indonesia pada tahun 2012 ini telah melakukan proses rekrutmen calon pegawai baru sebagai antisipasi dari benyaknya pegawai Perumnas yang pensiun dalam tiga tahun kedepan.
Komposisi pegewai yang saat ini masih didominasi lulusan SMP-SMA diharapkan akan berkurang karena bayaknya rekrutmen dari D3, S1,S2 dan S3 sehingga diharapkan dengan rekrutmen tersebut ada oeningkatan kinerja dari pegawai Perumnas. Hal tersebut tentu saja akan berdampak pada meningkatnya pendapatan Perumnas sebagai dampak dari meningkatnya etor kerja para pegawainya.
Indonesia Harus Punya Public Housing
Sungguh aneh negara sebesar indonesia tidak memiliki perusahaan public housing yang benar-benar mapan baik dalam progam membatu pemerintah maupun berkembang seperti halnya developer besar di Indonesia. Perumnas sebagai BUMN perumahan terbesar di negeri ini seakan tidak bisa berkembang dengan cepat karena visi sosialnya yang lebih didahulukan yang dilain pihak pemerintah tidak membantu dari segi permodalan yang memadai. Perusahaan plat merah tersebut selama eksistensinya dinegei ini cukup banyak membantu progaram-program pemerintah dalam menyediakan rumah murah.
Sebagai contoh adalah program RUSUNAWA yang digembar-gemborkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu, bahkan Pak Dahlan Iskan selaku menteri BUMN pernah menginap disana. Perumnas sebagai pengelola RUSUNAWA sudah pasti merugi karena biaya pengelolaan yang lebih besar daripada biaya sewa. Sekarang program 200 ribu rumah bagi PNS diseluruh negeri dengan harga 25 juta rupiah, apakah rasiona; harga tersebut dengan harga sebuah rumah, jika pun ada tentulah kesannya sangat jelek.
Adanya batasan profit juga menjadi masalah tersendiri bagi Perumnas untuk berkembang, tentu saja hal tersebut berbeda dengan developer lainnya yang memang profit oriented. Tidak adanya kekhususan bagi Perumnas dalam hal ini kelonggaran-kelonggaran kebijakan dari pemerintah tentu akan menjadi salah satu hambatan besar bagi Perumnas untuk menjadi leader National Urbant Development Corporation yang ditambah dengan keennganan pemerintah membantu dari segi permodalan.
Semoga kedepannya Pemerintah Indonesia lebih peka terhadap perusahaan yang cukup vital bagi rakyat ini, dan mereka tidak hanya lebih memberi perhatian BUMN minyak.
Sebagai contoh adalah program RUSUNAWA yang digembar-gemborkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu, bahkan Pak Dahlan Iskan selaku menteri BUMN pernah menginap disana. Perumnas sebagai pengelola RUSUNAWA sudah pasti merugi karena biaya pengelolaan yang lebih besar daripada biaya sewa. Sekarang program 200 ribu rumah bagi PNS diseluruh negeri dengan harga 25 juta rupiah, apakah rasiona; harga tersebut dengan harga sebuah rumah, jika pun ada tentulah kesannya sangat jelek.
Adanya batasan profit juga menjadi masalah tersendiri bagi Perumnas untuk berkembang, tentu saja hal tersebut berbeda dengan developer lainnya yang memang profit oriented. Tidak adanya kekhususan bagi Perumnas dalam hal ini kelonggaran-kelonggaran kebijakan dari pemerintah tentu akan menjadi salah satu hambatan besar bagi Perumnas untuk menjadi leader National Urbant Development Corporation yang ditambah dengan keennganan pemerintah membantu dari segi permodalan.
Semoga kedepannya Pemerintah Indonesia lebih peka terhadap perusahaan yang cukup vital bagi rakyat ini, dan mereka tidak hanya lebih memberi perhatian BUMN minyak.
Selasa, 10 April 2012
Hak Milik atas Tanah (oleh: Melianawaty)
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.1)
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:2)
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.3)
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertamaasas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.4)
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
Adapun mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan ‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”
Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. 5)
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan haknya.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan.
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
Dalam praktek, pencabutan hak atas tanah milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA seringkali terjadi. Masyarakat dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk kepentingan umum dengan diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat dalam pasal 6 UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak yang dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk menggantikan kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan luas, mungkin hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi sebagian besar penduduk yang hanya memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa. Ironisnya, kenyataan ini malah akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk yang entah disadari atau tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan tersebut ternyata malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain. 6)
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut.7) Ironisnya tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Masalah penelantaran tanah ini berkaitan dengan masalah kepemilikan secara besar-besaran oleh perorangan yang tentunya jika dibiarkan akan terjadi apa yang dinamakan dengan “monopoli tanah” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penguasaan/kepemilikan tanah yang melampaui batas ini tidak sesuai dengan amanat dari Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa “ Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”Namun dalam kenyataannya hal ini sulit untuk dihindari.
Selain permasalahan di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Meskipun secara normative pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Pelaksana 27 Nomor tahun 1997, namun dalam kenyataannya masalah ini tetap melahirkan banyak fenomena memprihatinkan di masyarakat seperti keengganan masyarakat untuk melakukan sertifikasi karena berbagai alasan yang pada umumnya berkisar pada alasan ekonomis, namun sebaliknya terdapat pula kepemilikan sertifikat oleh banyak orang.
Lahir dua pemikiran terhadap segala persoalan terkait dengan hak milik atas tanah sebagaimana diuraikan di atas bahwa hal tersebut timbul tidak hanya akibat dari kekeliruan pemerintah dalam penerapan kebijakan tetapi juga tidak lepas dari peran serta masyarakatnya yang tampak berupaya untuk berontak/melepaskan diri dari kebijakan hukum pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu segala permasalahan tersebut perlu dianalisis lebih cermat baik terhadap pihak pelaksana kebijakan yang seringkali menyelewengkan amanat dari pembuat kebijakan maupun terhadap masyarakat luas yang juga berperan serta memperuncing segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan hak milik ini.
1) Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm 10.
2) Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 64.
3) Urip Santoso, op.cit, hlm 90-91.
4) Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm8-9.
5) Adrian Sutedi, ibid, hlm 117-121.
6) Down to Earth Nr, Reformasi, petani, dan aksi buka lahan. 48, Februari 2001.
7) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=112985, (Proletar) Sengketa Tanah dan Urgensi Peradilan Agraria, 25 juni 2005, hlm 2.
Senin, 09 April 2012
Polemik Hukum di Indonesia
Di indonesia, sudah banyak terdapat kasus-kasus
pidana yang melibatkan para pejabat negara. Dari mulai kasus pembunuhan,
kejahatan seksual, penipuan, atau bahkan yang paling banyak yaitu masalah
korupsi. Dari sekian banyak tindak pidana tersebut, yang paling menyita
perhatian tentu saja kasus pembunuhan terhadap Direktur Utama PT. Rajawali Putra
Banjaran, yaitu Nazrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar.
Mantan Ketua
KPK Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan
yang kemudian dikuatkan di Pengadilan tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati
yang sebelumnya dituntutkan kepadanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Antasari
Azhar didakwa melakukan pembunuhan berencana dan dijerat dengan Pasal 55 ayat
(1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP Pasal 340 dengan ancaman hukuman
maksimal hukuman mati.
Dari hasil vonis tersebut terlepas dari apa yang sudah diputuskan oleh
hakim, berbagai fakta selama persidangan dinilai belum terjawab dan masih menimbulkan
tanda tanya. Menurut Juniver Girsang, salah satu kuasa hukum Antasari Azhar
menyatakan bahwa banyak keganjilan yang belum terungkap.
Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Rani Juliani
menemui Antasari Azhar di kamar 803 Hotel Grand Mahakam Jakarta pada Mei 2008.
Pertemuan Rani dengan Antasari seizin Nasrudin dan bahkan diantar sampai lobby
hotel. Anehnya, sekitar 10 menit, Nasrudin menyeruak masuk kamar 803, memarahi
Antasari, dan menampar Rani sampai menangis. Mengapa Nasrudin mengantar Rani ke
hotel lalu merekam pembicaraan antara istrinya dengan Antasari? Mengapa
Nasrudin saat itu terkejut ketika melihat Rani bersama Antasari di dalam kamar?
Lebih lanjut,
dalam rekaman tampak sekali Rani Juliani begitu aktif berbicara alias posessif
ketimbang AA. Begitu juga
tidak ada intonasi kekerasan yang terjadi dalam rekaman tersebut. Benarkah
terjadi tindakan asusila jika pintu kamar hotel tidak dikunci (dan bahkan
terbuka)?
2.
Pertemuan dan Rekaman Sigid HW – AA
Dalam
pertemuan Antasari dengan terdakwa lain Sigid Haryo Wibisono di rumah
Sigid di Jl Pati Unus, Jakarta Selatan, Sigid HW merekam pembicaraan. Sama
dengan kejanggalan sebelumnya, untuk apa Sigid sengaja merekam pembicaraannya
dengan Antasari? Untuk apa pula merekam pembicaran dan gambar di rumah Sigid?
Bukankah ini sebuah jebakan?
3.
Rekayasa SMS Ancaman Seolah-Olah dari Antasari
Jika
dua fakta diatas lebih didasari oleh analisis logik, maka fakta ketiga
merupakan fakta yang sangat kuat menunjukkan adanya rekayasa menjatuhkan
Antasari Azhar. Adalah Agung Harsoyo, Pakar Teknologi Informasi ITB yang
membeberkan rekayasa sms ancaman Nasruddin yang seolah-olah berasal dari ponsel
Antasari Azhar.
Pak Agung Harsoyo merupakan seorang dosen
dan akademisi yang kredibel dan kepiawaiannya tidak perlu diragu lagi di Teknik
Elektro ITB. Pada 17 Desember 2009, Pak Agung Harsoyo menjadi saksi ahli dalam
persidangan kasus Antasari Azhar di PN Jakarta Selatan. Kala itu, dia
memastikan ponsel mantan ketua KPK tersebut tidak pernah mengirimkan SMS
ancaman kepada Nasrudin Zulkarnaen sebelum terbunuh. Padahal, jaksa mendakwa
Antasari mengancam melalui pesan singkat tersebut.
Jika diamati, dalam
perkara pembunuhan berencana terhadap Nazrudin Zulkarnaen ini, secara garis
besar para pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok eksekutor (Edo Cs),
penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard),
serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk). Dalam
membuktikan keterlibatan masing-masing yang berperan tersebut, diperlukan
korelasi antara para pelaku dan hal itu harus terbukti secara fakta persidangan
atau yang lebih tepat secara hukum formil, serta sesuai dengan hukum acara yang
berlaku. Hukum acara di Indonesia menganut hukum formil, karena itu pembuktiannya
dilakukan berdasarkan data atau bukti yang diajukan dalam persidangan. Bukti
tersebut, dikuatkan oleh dua alat bukti yang sah, bukan hanya sekadar petunjuk
atau indikasi.
Hal ini seperti yang
sudah dinyatakan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam Pasal 183 disebutkan bahwa Hakim
Tidak Boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa proses
pemeriksaan di pengadilan haruslah atas dasar dua alat bukti yang sah dan
berdasarkan keyakinan hakim. Tidak boleh didasarkan atas asumsi belaka. Karena
dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan.
Kita Lihat selanjutnya bagaimanakah proses PK kasus tersebut
Kesan Pertama Jakarta
Kesan Pertama Jakarta
Setelah beberapa puluh kali ikut
seleksi BUMN akhirnya keterima untuk kali kedua di BUMN. Pertama kali diterima
adalah diperusahaan tambang minyak dan gas berplat merah namun urung diangkat
dikarenakan ada musibah yang menghinggap0didiriku (operasi red-Usus Buntu).
Sekarang diterima kembali diperusahaan plat merah tetapi dibindang perumahan
dan pemukiman masyarakat. Walau gaji tak sebesar di perusahaan minyak namun
saya syukuri aja, mungkin ini sudah rejekinya.
Mi8nggu kedua di April ini saya
sudah mulai masuk kantor dikawasan Jakarta Timur untuk mengikuti pendidikan
selama dua minggu nonstop. Nyari kosan tidak semudah yang dibayangkan, perlu
tenaga ekstra untuk mencari8ny6a agar murah dan dekat dengan lokasi kerja. Akhirnya
sa ya memi8lih lokasi yang berada diseberang kantor saya bekerja.
Namun yang perlu diperhatikan
disini adalah situasi dan kondisi jakarta yang carut marut bahkan kacau.
Dimulai dari sistem lalu lintas dan transportasi yang memang dikenal dari
dahulu sudah kacau dan tidak bisa diperbaiki walaupun telah dipilih gubernur
secara langsung oleh masyarakat Jakarta. Kemudian gaya hidup dijakarta yang
sangat kontras antara orang hedonis dan miskin sungguh sangat ironbi ketika
berpuluh-puluh apartemen mewah namun dipinggir teronjggok pemukiman yang kumuh.
Lanjut lagi menyoroti masalah
pendidikan, seakan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah-red) tidak ada
fungsinya dengan melihat begitu banyaknya anak usia sekolah justru berada
dijalanan untuk?.Terakhior adanya istilah “no free for lunch” yang intinya
tidak ada yang gratis dijakarta dimulai dari kejamban sampai ke mall tidak ada
yang gratis, bahkan biaya untuk makan aja 3 kali lipat ketika saya kuliah di
Jawa Tengah……..Jakarta oh Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)