Entri Populer

Senin, 09 April 2012

Polemik Hukum di Indonesia


Di indonesia, sudah banyak terdapat kasus-kasus pidana yang melibatkan para pejabat negara. Dari mulai kasus pembunuhan, kejahatan seksual, penipuan, atau bahkan yang paling banyak yaitu masalah korupsi. Dari sekian banyak tindak pidana tersebut, yang paling menyita perhatian tentu saja kasus pembunuhan terhadap Direktur Utama PT. Rajawali Putra Banjaran, yaitu Nazrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar.
 Mantan Ketua KPK Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang kemudian dikuatkan di Pengadilan tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati yang sebelumnya dituntutkan kepadanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Antasari Azhar didakwa melakukan pembunuhan berencana dan dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP Pasal 340 dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati.
Dari hasil vonis tersebut terlepas dari apa yang sudah diputuskan oleh hakim, berbagai fakta selama persidangan dinilai belum terjawab dan masih menimbulkan tanda tanya. Menurut Juniver Girsang, salah satu kuasa hukum Antasari Azhar menyatakan bahwa banyak keganjilan yang belum terungkap. Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Rani Juliani Diantar Oleh Nasruddin Zulkarnaen dan Rekaman Pertemuan 803
Rani Juliani menemui Antasari Azhar di kamar 803 Hotel Grand Mahakam Jakarta pada Mei 2008. Pertemuan Rani dengan Antasari seizin Nasrudin dan bahkan diantar sampai lobby hotel. Anehnya, sekitar 10 menit, Nasrudin menyeruak masuk kamar 803, memarahi Antasari, dan menampar Rani sampai menangis. Mengapa Nasrudin mengantar Rani ke hotel lalu merekam pembicaraan antara istrinya dengan Antasari? Mengapa Nasrudin saat itu terkejut ketika melihat Rani bersama Antasari di dalam kamar?
Lebih lanjut, dalam rekaman tampak sekali Rani Juliani begitu aktif berbicara alias posessif ketimbang AA. Begitu juga tidak ada intonasi kekerasan yang terjadi dalam rekaman tersebut. Benarkah terjadi tindakan asusila jika pintu kamar hotel tidak dikunci (dan bahkan terbuka)?


2.      Pertemuan dan Rekaman Sigid HW – AA
Dalam pertemuan  Antasari dengan terdakwa lain Sigid Haryo Wibisono di rumah Sigid di Jl Pati Unus, Jakarta Selatan, Sigid HW merekam pembicaraan. Sama dengan kejanggalan sebelumnya, untuk apa Sigid sengaja merekam pembicaraannya dengan Antasari? Untuk apa pula merekam pembicaran dan gambar di rumah Sigid? Bukankah ini sebuah jebakan?
3.      Rekayasa SMS Ancaman Seolah-Olah dari Antasari
Jika dua fakta diatas lebih didasari oleh analisis logik, maka fakta ketiga merupakan fakta yang sangat kuat menunjukkan adanya rekayasa menjatuhkan Antasari Azhar. Adalah Agung Harsoyo, Pakar Teknologi Informasi ITB yang membeberkan rekayasa sms ancaman Nasruddin yang seolah-olah berasal dari ponsel Antasari Azhar.
Pak Agung Harsoyo merupakan seorang dosen dan akademisi yang kredibel dan kepiawaiannya tidak perlu diragu lagi di Teknik Elektro ITB. Pada 17 Desember 2009, Pak Agung Harsoyo menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Antasari Azhar di PN Jakarta Selatan. Kala itu, dia memastikan ponsel mantan ketua KPK tersebut tidak pernah mengirimkan SMS ancaman kepada Nasrudin Zulkarnaen sebelum terbunuh. Padahal, jaksa mendakwa Antasari mengancam melalui pesan singkat tersebut.
Jika diamati, dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Nazrudin Zulkarnaen ini, secara garis besar para pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok eksekutor (Edo Cs), penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard), serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk). Dalam membuktikan keterlibatan masing-masing yang berperan tersebut, diperlukan korelasi antara para pelaku dan hal itu harus terbukti secara fakta persidangan atau yang lebih tepat secara hukum formil, serta sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Hukum acara di Indonesia menganut hukum formil, karena itu pembuktiannya dilakukan berdasarkan data atau bukti yang diajukan dalam persidangan. Bukti tersebut, dikuatkan oleh dua alat bukti yang sah, bukan hanya sekadar petunjuk atau indikasi.
Hal ini seperti yang sudah dinyatakan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 183 disebutkan bahwa Hakim Tidak Boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa proses pemeriksaan di pengadilan haruslah atas dasar dua alat bukti yang sah dan berdasarkan keyakinan hakim. Tidak boleh didasarkan atas asumsi belaka. Karena dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan.
Kita Lihat selanjutnya bagaimanakah proses PK kasus tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar