Tidak asing lagi fakta
kehidupan yang sedang dijalani oleh umat islam sekarang ini, berbagai petaka,
bencana, penindasan, pelecehan dan berbagai fakta pilu lainnya. Dari hari ke
hari, pendengaran kita tiada hentinya mendengarkan berbagai berita yang
menyayat-nyayat hati, mata kita membaca berbagai lembaran kelam dari sejarah
umat Islam.
Musuh-musuh dari segala aliran
dan bangsa dengan bengisnya menindas, menjajah, dan merampas hak umat Islam.
Dengan segala kerakusan dan keserakahannya mereka merampas segala keindahan
umat Islam. Semua itu berlangsung tanpa ada daya dan upaya yang dapat dilakukan
oleh umat Islam untuk menangkal atau menyingkapnya.
Fakta ini benar-benar seperti
yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits berikut:
Tak lama lagi berbagai bangsa
akan ramai-ramai bersekongkol atas kalian, bak persekongkolan para pemakan
ramai-ramai menuju kepada piring hidangannya. Maka seorang sahabat bertanya:
“Apakah karena kami kala itu berjumlah sedikit?” Beliau menjawab: “Bahkan
kalian kala itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih bak buih air bah, dan
sungguh Allah akan menyirnakan rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Ia
akan mencampakkan Al Wahanu di jantung-jantung kalian.” Maka salah seorang
sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Al Wahanu itu?” Beliau menjawab:
“Cinta terhadap dunia dan benci akan kematian.” (Riwayat Ahmad,
Abu Dawud, dan lainnya, serta dishohihkan oleh Al Albany)
Walau demikian, kita tidak
boleh berkecil hati atau merasa putus asa, karena Allah Ta’ala telah memberikan
jaminan bahwa kemenangan, dan kejayaan pasti akan menghampiri hamba-hamba-Nya
yang beriman dan bertaqwa:
“Dan sungguh-sungguh telah Kami tuliskan
(tetapkan) di dalam Zabur sesudah (Kami tuliskan dalam Laih Mahfuzh)
bahwasannya bumi ini akan di warisi oleh hamba-hamba-Ku yang soleh.” (QS. Al
Anbiya’: 105)
Ibnu Katsir berkata: “Allah
Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini (kemenangan orang-orang soleh-pen) telah
dituliskan dalam kitab syar’i (taqdir syar’iyah) dan kitab Qodari (taqdir
kauniyah), dan hal itu pasti terwujud.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/201)
Pada ayat lain Allah
berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan beramal soleh, bahwa Ia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah Ia ridhai untuk mereka. Dan Ia benar-benar akan menggantikan (keadaan)
mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentausa. Mereka
tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan
barang siapa yang (tetap) kufur sesudah janji ini, maka mereka itulah
orang-orang fasik.” (QS. An Nur: 55)
Dan pada ayat lain Allah
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul
Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tegakkanya
para saksi (hari Qiyamat)” (QS. Ghofir: 50)
Inilah janji Allah, inilah
jaminan dari Allah, dan inilah sebagian dari imbalan bagi orang-orang yang
memenuhi janji mereka kepada Allah.
Bila kita renungkan ketiga
ayat di atas, niscaya kita dapatkan dengan jelas bahwa janji Allah ini tidaklah
diberikan dengan tanpa syarat. Akan tetapi janji Allah ini hanya dapat digapai
dengan dua syarat:
1. Syarat Pertama: Iman.
2. Syarat Kedua: Amal sholeh.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Karena para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- sepeninggal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menegakkan
perintah-perintah Allah, dan paling ta’at kepada Allah Azza wa Jalla, maka
pertolongan yang mereka dapatkan sesuai dengan amalan mereka. Mereka menegakkan
kalimat Allah di belahan bumi bagian timur dan barat, maka Allah benar-benar
meneguhkan mereka. Sehingga mereka berhasil menguasai umat manusia dan berbagai
negeri. Dan tatkala umat Islam sepeninggal mereka melakukan kekurangan dalam
sebagian syari’at, maka kejayaan mereka berkurang selarang dengan amalan
mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/302)
Sebenarnya, lembaran sejarah
yang sedang dijalani oleh umat Islam pada zaman sekarang, tidaklah lebih berat
bila dibandingkan dengan lembaran sejarah yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dituduh sebagai tukang sihir, pendusta, dan dan disakiti serta diperangi. Ada
dari sahabatnya yang dibunuh dengan cara-cara sadis nan bengis, sebagaimana yang
dialami oleh sahabat Yasir & Sumayyah. Ada dari mereka yang disiksa dengan
berbagai bentuk penyiksaan, sebagaimana yang dialami oleh Ammar bin Yasir,
Khabbab bin Arat, Bilal dll.
Menjalani tantangan yang
sangat berat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tegar
meniti setiap tahapan dakwah, tanpa kenal lelah atau kecil hati. Beliau
berjuang sekuat tenaga guna mewujudkan kedua persyaratan diatas pada
sahabatnya.
Dan tatkala ada dari sebagian
dari sahabatnya yang merasa bahwa jalan menuju kejayaan terlalu panjang, dengan
tegar beliau kembali menegaskan bahwa bila kedua persyaratan diatas telah
terealisasi, maka jalan menuju kejayaan sangatlah pendek. Mari kita simak
beberapa bukti akan hal ini:
Abul ‘Aliyah menyatakan bahwa
ayat 55 surat An Nur di atas diturunkan pada awal Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya diperintahkan untuk berperang, sehingga
beliau dan para sahabatnya senantiasa dalam keadaan khawatir akan serangan
musuh. Oleh karenanya, mereka senantiasa menenteng senjata, sampai-sampai salah
seorang sahabat berkata kepada beliau: “Akankah selama-lamanya kita akan
berada dalam ketakutan semacam ini?, mungkinkah akan datang suatu saat yang
aman sehingga kamipun meletakkan senjata?” Maka Nabipun menjawab: “Tidaklah
kalian bersabar melainkan hanya dalam waktu yang singkat, sampai akan datang
suatu masa, yang padanya salah seorang dari kamu akan duduk berongkang-ongkang
di tengah keramaian manusia, sedangkan tidak sepotong besipun (senjata) ada
bersama mereka,” kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir At
Thobary 18/159)
Imam Bukhori meriwayatkan dari
sahabat Khabbab bin Arat radhiallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang
berbaring di bawah naungan Ka’bah berbantalkan selimutnya. Lalu sahabat Khabbab
berkata kepada beliau: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan untuk kami?
Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Maka beliau menjawab: “Dahulu
pada umat sebelum kalian ada orang yang ditimbun dalam tanah, kemudian
didatangkan gergaji, lalu diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi
dua. Siksa itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Dan ada yang
disisir dengan sisir besi, hingga terkelupas daging, dan nampaklah tulang atau
ototnya, akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya.
Sungguh demi Allah, urusan ini akan menjadi sempurna, sehingga akan ada
penunggang kendaraan dari Sanaa’ hingga ke Hadramaut, sedangkan ia tidaklah
merasa takut kecuali kepada Allah atau serigala atas dombanya. Akan tetapi
kalian adalah orang-orang yang terburu-buru.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada kisah ini kembali menggugah keimanan Khabbab kepada
janji Allah. Sebagaimana Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menegur sahabat Khabbab agar meninggalkan sikap terburu-buru dalam perjuangan
di jalan Allah.
Bila sahabat Khabbab radhiallahu
‘anhu yang hanya meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memohonkan pertolongan dan berdoa, dinyatakan terburu-buru, maka bagaimana
halnya dengan sikap banyak dari umat Islam pada zaman ini. Dari mereka ada yang
menempuh jalan demonstrasi, pengeboman, pendirian partai politik, dan
menggalang dukungan dari siapapun, serta berkoalisi dengan partai apapun, tanpa
perduli dengan azaz dan idiologinya. Semua ini mereka lakukan di bawah slogan:
Menyegerakan kejayaan bagi umat Islam?!! Mengusahakan jaminan hidup bermartabat
bagi umat Islam?! Memperjuangkan nasib kaum muslimin?!! Bahkan dari mereka ada
yang berkata: Bila umat islam tidak masuk parlemen, maka siapakah yang akan
menjamin nasib mereka?!
Seakan-akan mereka tidak
pernah mendengar jaminan dan janji Allah di atas. Seusai perjanjian Hudaibiyyah
ditandatangani, sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu yang tidak
kuasa melihat sahabat Abu Jandal radhiallahu ‘anhu diserahkan kembali ke
orang-orang Quraisy, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bukankah engkau adalah benar-benar Nabiyullah?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.” Umarpun kembali berkata:
“Bukankah kita di atas kebenaran, sedangkan musuh kita di atas kebatilan?”
Nabipun menjawab: “Ya!” Umarpun berkata: “Lalu mengapa kita pasrah
dengan kehinaan dalam urusan agama kita, bila demikian adanya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah, dan aku
tidak akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah adalah Penolongku.” Umar
kembali berkata: “Bukankah engkau pernah mengabarkan kepada kami bahwa kita
akan mendatangi Ka’bah, kemudian berthowaf di sekelilingnya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya, dan apakah aku pernah mengabarkan
bahwa kita akan mendatangai Ka’bah pada tahun ini?” Umarpun menjawab: “Tidak.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya: “Sesungguhnya
engkau akan mendatangainya, dan akan bertowaf mengelilinginya.” (Muttafaqun
‘alaih)
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berusaha meneguhkan kembali keimanan Umar bin Khatthab
kepada janji Allah agar tidak tergoyah. Dan mengungatkannya agar bersabar dalam
menanti datangnya pertolongan Allah, yaitu dengan tetap taat kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikianlah seyogyanya pertolongan Allah Ta’ala digapai.
Yaitu dengan keimanan yang benar dan kokoh dan kesabaran yang teguh. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan Kami jadikan dari mereka
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka
bersabar dan adalah mereka selalu meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As
Sajdah: 24)
Ibnul Qayyim berkata: “Pada
ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Ia telah menjadikan mereka (pengikut
nabi Musa-pen) sebagai pemimpin-pemimpin yang dijadikan panutan oleh generasi
setelah mereka, berkat kesabaran dan keyakinan mereka. Sebab dengan kesabaran
dan keyakinan, kepemimpinan dalam hal agama dapat dicapai. Karena seorang
penyeru kepada jalan Allah Ta’ala, tidaklah akan terealisasi cita-citanya,
melainkan bila ia benar-benar yakin akan kebenaran misi yang ia surukan, ia
menguasai ilmu tentangnya. Ia juga bersabar dalam menjalankan dakwah menuju jalan
Allah, yaitu dengan tabah menahan beban dakwah dan menahan diri dari segala hal
yang akan meluluhkan tekad dan cita-citanya. Barang siapa demikian ini halnya,
maka ia termasuk para pemimpin yang telah mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala.”
(I’ilamul Muwaqi’in 4/135)
Kisah antara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu
di atas, tentu tidak selaras dengan doktrin sebagian orang bahwa: yang paling
penting sekarang ini adalah kita bergerak, umat islam harus bertindak, sekarang
ini bukan lagi saatnya untuk menyoal tentang asma’ was sifat, sunnah, atau
bid’ah, sedangkan saudara kita di sana dibantai, di sini ditindas, disana
diserang dst. Sekarang ini bukan saatnya untuk bertanya sunnah atau bid’ah?
Sekarang ini saatnya kita bersatu, menggalang dukungan, melupakan segala
perbedaan, dan berusaha mencari titik temu, dst.
Doktrin ini tidaklah diucapkan
kecuali oleh orang yang tidak mengenal keagungan Allah Ta’ala:
Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian mengerjakan berbagai amalan, yang di
mata kalian lebih lembut dibanding rambut, padahal kami dahulu semasa hidup
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai amalan yang
membinasakan.” (Riwayat Bukhori)
Tatkala Kholifah Umar bin Al Khotthab
terluka akibat tusukan Abu Lu’lu’ah Al Majusi, ia dijenguk oleh seorang pemuda
yang berkata: “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan kabar gembira dari
Allah untukmu; engkau telah menjadi sahabat Rasulullah, dan banyak berjasa
untuk Islam sebagaimana yang engkau ketahui sendiri, kemudian engkau dipilih
menjadi pemimpin, dan engkaupun berlaku adil, kemudian engkau mati syahid.”
Umarpun menjawab: “Aku berandai-andai itu semua cukup, tidak atasku dan juga
tidak untukku.” Tatkala pemuda itu telah berpaling, ternyata sarungnya
menyentuh tanah. Umar-pun berkata: “Panggillah kembali pemuda itu,”
lalu ia berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Naikkanlah bajumu, karena
dengan cara itu bajumu akan lebih awet, dan engkau lebih bertaqwa kepada
Rabb-mu.” (Riwayat Bukhori)
Pada akhir hayatnya, Kholifah
Umar bin Khatthab masih juga perhatian dengan masalah isbal. Beliau atau
sahabat lainnya yang hadir kala itu tidak ada yang berkata: “Sekarang, bukan
saatnya berbicara tentang isbal, sekarang saatnya berbicara tentang calon
pengganti kholifah,” atau ucapan yang semakna.
Kholifah Umar bin Abdul Aziz
pernah berkirim surat kepada salah seorang panglimanya:
“Hendaknya engkau senantiasa
bertaqwa kepada Allah dalam setiap situasi yang engkau hadapi, karena ketakwaan
kepada Allah adalah senjata paling ampuh, taktik paling bagus, dan kekuatan
paling hebat. Janganlah engkau dan kawan-kawanmu lebih waspada dalam menghadapi
musuh dibanding menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah. Karena perbuatan
dosa lebih aku khawatirkan atas masyarakat dibanding tipu daya musuh mereka.
Kita memusuhi musuh kita dan mengharapkan kemenangan atas mereka berkat tindak
kemaksiatan mereka. Kalaulah bukan karena itu, niscaya kita tidak kuasa
menghadapi mereka, karena jumlah kita tidak seimbang dengan jumlah mereka,
kekuatan kita tidak setara dengan kekuatan mereka. Bila kita tidak mendapat
pertolongan atas mereka berkat kebencian kita terhadap kemaksiatan mereka,
niscaya kita tidak dapat mengalahkan mereka hanya dengan kekuatan kita.
Jangan sekali-kali kalian
lebih mewaspadai permusuhan seseorang dibanding kewaspadaanmu terhadap
dosa-dosamu sendiri. Janganlah kalian lebih serius menghadapi mereka dibanding
menghadapi dosa-dosa kalian.
Ketahuilah bahwa kalian
senantiasa diawasi oleh para malaikat pencatat amalan. Mereka mengetahui setiap
perilaku kalian sepanjang perjalanan dan peristirahatan kalian. Hendaknya
kalian merasa malu dari mereka, dan berlaku santun dihadapan mereka. Jangan
sekali-kali menyakiti mereka dengan tindak kemaksiatan kepada Allah, padahal
kalian mengaku sedang berjuang di jalan Allah.
Janganlah sekali-kali kalian
beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek
dibanding kita, sehingga tidak mungkin mereka dapat mengalahkan kita, walaupun
kita berbuat dosa. Betapa banyak kaum yang telah dikuasai oleh orang-orang yang
lebih jelek, akibat dari perbuatan dosa kaum tersebut.”
Mohonlah pertolongan kepada
Allah dalam menghadapi diri kalian, sebagaimana kalian memohon pertolongan
kepada-Nya dalam menghadapi musuh kalian. Sebagaimana kamipun turut memohon hal
tersebut untuk diri kita dan juga untuk kalian.” (Hilyatul
Auliya’ 5/303)
Subhanallah, suatu pesan yang
layak untuk dituliskan dengan tinta emas, dan dibacakan kepada setiap orang
yang di hatinya sedang berkobar-kobar api perjuangan demi Islam. Sudah
sepantasnya pesan ini diajarkan kepada setiap pemuda Islam yang ingin
memperjuangkan nasib Islam dan umatnya.
Kisah peperangan uhud dan
peperangan Hunain adalah contoh kecil bagi ucapan Kholifah Umar bin Abdul Aziz:
Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan)
musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita,…”
Pada perang Uhud, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka
datang ke madinah guna membalas dendam atas kekalahan mereka pada perang Bader.
Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanggar perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meninggalkan pos penjagaan
mereka di atas gunung, walau terjadi kejadian apapun. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
“Tetaplah kalian berada di pos kalian, dan
janganlah kalian berhanjak pergi, walaupun kalian menyaksikan burung-burung
telah menyambar-nyambar kami.” (Al Baihaqy dll)
Akan tetapi perintah ini oleh
sebagian sahabat yang bertugas menjaga pos di atas gunung dilanggar. Mereka
berdalih, perang telah usai, dan musuh mulai lari tunggang-langgang, sehingga
mereka merasa perlu untuk ikut mengumpulkan rampasan perang dan menawan musuh
yang berhasil di tangkap. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian
sahabat ini, terjadilah kekalahan dan petaka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam terluka dan terjatuh hingga pingsan, lebih dari tujuh puluh
sahabat terbunuh dll.
Pada kisah ini, sebagian
sahabat melanggar perintah untuk ittiba’ (meneladani dan mentaati) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dan pada perang Hunain,
sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalai akan Allah,
sehingga mereka merasa percaya diri dan beranggapan tidak akan terkalahkan,
karena jumlah mereka banyak. Sebagaimana Allah kisahkan hal ini dalam surat At
Taubah 25:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di
medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu
terperdaya oleh banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi
manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu,
k emudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At
Taubah: 25)
Pada kisah ini sebagian
sahabat yang merasa percaya diri dengan jumlah pasukan dan melalaikan tawakkal
kepada Allah, maka mereka ditimpa kekalahan, walaupun akhirnya para sahabatnya
yang telah kokoh keimanannya, segera kembali dan berjihad melawan musuh. Dan
akhirnya Allah Ta’ala melimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sahabatnya kemenangan. Pada kisah ini, kaum muslimin terkalahkan
pada awal peperangan, akibat rasa ujub dan lupa tawakkal, sehingga terjadi
kekeliruan dalam hal tauhid kepada Allah.
Bila kita sedikit menoleh
kepada realita umat Islam pada zaman kita ini, maka kita dapatkan sangat jauh
beda. Bukan sekedar dosa-dosa kecil yang diremehkan, akan tetapi berbagai dosa
besar bahkan syirikpun tidak lagi diperdulikan. Berapa ribu kuburan yang dikeramatkan?
Berapa juta ajimat dikantongi umat islam? Berapa ribu paranormal dan
para-tidak-normal bebas membuka praktek umum. Berapa ribu habib dan kyai bebas
mengajarkan bid’ah dan kesesatannya? Adakah orang yang merasa terusik, atau
menggalang kekuatan dan dukungan untuk mengingkari itu semua?
Kebanyakan umat Islam sekarang
ini disibukkan dengan urusan jabatan dan perebutan jatah kursi. Mereka sewot
bila ada pejabat yang korupsi, akan tetapi tidak pernah sewot sedikitpun bila
ada kuburan yang dikultuskan, atau bid’ah yang diajarkan.
Sebenarnya fakta ini bukanlah
hal baru, akan tetapi senantiasa terjadi di sepanjang masa, mari kita simak
kisah berikut:
“Dari sahabat Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Datang kepadaku salah seorang dari anshar
(penduduk madinah) pada masa khilafah Utsman, kemudian ia berbicara kepadaku,
ternyata ia memerintahkanku untuk mencela Utsman, dan ia adalah orang yang
lisannya berat (susah berbicara) sehingga ia tidaklah dapat menyampaikan
maksudnya dengan jelas, dan ketika ia telah selesai berbicara, sayapun
menjawab: “Dahulu kami (para sahabat), semasa hidup Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Orang paling utama dari umat ini ialah Abu Baker,
kemudian Umar, kemudian Utsman. Dan sungguh demi Allah, kami tidaklah mengathui
bahwa Utsman pernah membunuh seorang jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, tidak
juga pernah melakukan dosa besar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah
harta kekayaan ini (harta kekayaan khilafah/ negara), bila ia memberikannya kepada
kalian, kalian ridho, dan bila ia berikannya kepada karib kerabatnya kalian
menjadi murka. Sesungguhnya kalian ini ingin menjadi seperti orang-orang Persia
dan Romawi, mereka tidaklah pernah memiliki seorang pemimpin, melainkan mereka
bunuh sendiri.” (Riwayat Ahmad, Al Khollah dan At Thobrani)
Sebagai penutup tulisan
singkat ini, saya cukupkan dengan menyebutkan hadits berikut:
“Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti
ekor-ekor sapi, berjual beli dengan cara ‘inna[1] dan meninggalkan jihad,
niscaya Allah akan melekatkan kehinaan ditengkuk- tengkuk kalian, kemudian
kehinaan tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan
kalian semula dan bertaubat kepada Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al
Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Albany). Wallahu a’alam bisshowab.
[1] Jual beli
‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran
dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual tadi membeli
kembali barang tersebut dengan harga yang lebih murah dan dengan pembayaran
kontan.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar