Dr. Andari Yurikosari, SH MH[1]
A.Pendahuluan
Adanya
kebutuhan hubungan kerja berdasarkan sistem outsourcing tidak dapat dihindari dewasa ini dan
merupakan kebutuhan nyata pada berbagai jenis bidang usaha. Sebab berdasarkan
pertimbangan ekonomi, beberapa pekerjaan lebih tepat dilakukan secara outsourcing. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat
dijadikan alasan pembenar untuk menghindari dari kewajiban-kewajiban terhadap
pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demikian pula, terhadap
perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Akan tetapi kurangnya
sanksi dan peraturan pelaksana di bawah undang-undang memerlukan adanya
pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian dan perlindungan hukum bagi
mereka yang bekerja secara kontrak maupun mereka yang bekerja secara outsourcing.
Aloysius
Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah bahwa hubungan
kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual[2] yang dibuat
antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan
hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak berlakunya
Burgelijk Wetboek (BW)[3]atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak[4] dalam hukum
perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak
melakukan perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam
hukum perburuhan di Indonesia , harus dibedakan
antara hubungan kerja dengan hubungan industrial.[5] Beberapa
negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan
kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa
hubungan kerja (labour relationship)
selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja (labour contract).[6] Sedangkan
Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat, industrial relation telah
ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah
perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan
dan posisi tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan
pemerintah (government regulation in the
form protective labor legislation).[7] Di Jerman,
sebagai bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion
Act,[8] disebutkan
bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations. Argumen-argumen
di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial.
Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran
serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam
konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum
privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di dasarkan pada
kontrak kerja atau perjanjian kerja.
Pada dasarnya hubungan
kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan
perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan
kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.[9] Di dalam
Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.[10]
Pengertian
perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal
1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut
perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah
perintah, waktu tertentu dan adanya upah.[11] Kualifikasi
mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan
subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan
pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang
Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian
kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak.
Di
dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur work
atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu
tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian
kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata
yaitu :
a.Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
Arti
kata sepakat adalah bahwa kedua subyek
hukum yang mengadakan perjanjian
harus
setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian
tersebut dikehendai secara timbal balik
b.Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
Subyek
hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap
orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut
cakap menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata dijelaskan
orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa,
mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu.
c.Suatu hal tertentu
Suatu
hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus
sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang
pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
d.Sebab yang halal
Sebab
yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara
khusus yang mengatur tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU
No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan, yaitu :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan
keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya
maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat,
seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum
Kemampuan
dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak
pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap
membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum
ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU
No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang
tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan
yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Obyek perjanjian harus halal yakni
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban umum dan kesusilaan.
Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure perjanjian kerja
yang harus disebutkan secara jelas.
Pembedaan
mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja waktu
tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.[12] Tidak semua
jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57
Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2
kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada
selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara
limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat
musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajagan.[13]
Berbeda
dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),yaitu perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
tetap.[14] Masa
berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus
hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif
yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik
tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1)
ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha
untuk membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan timbul dimana pada saat
pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya, tidak sesuai
dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
1.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3.
Pekerjaan yang bersifat musiman;
4.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Sedangkan
untuk masa sekarang ini hampir semua jenis pekerjaan dapat ‘dipkwtkan’ atau
diikat dengan perjanjian kontrak maupun juga dengan caraoutsourcing, suatu
hal yang sebenarnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hubungan
kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya
suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan
hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja,
hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan
subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari
pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal
tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja
dengan perusahaan pemberi kerja.[15]
Pelaksanaan outsourcing[16] dalam
beberapa tahun setelah terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama hal ini disebabkan
oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai
ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja. Namun demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak
dapat dihindari oleh pengusaha, apalagi oleh pekerja. Hal tersebut dikarenakan
pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seakan mendapat legalisasi memberlakukan
praktek outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang
oleh undang-undang.
B. Permasalahan Yuridis Di
dalam Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Hubungan
kerja pada masa sekarang ini secara umum disebut hubungan kerja yang fleksibel,
dalam arti hubungan kerja yang terjadi dewasa ini tidak memberikan jaminan
kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan haknya. Fleksibelitas bisa menyangkut waktu melakukan
pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi
kerja, juga ditentukan oleh pekerja itu sendiri. Dalam praktik pada mulanya
ditemukan ada 4 jenis hubungan kerja fleksibel, yaitu :[17]
1.
Hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman
pekerja
2.
Hubungan kerja yang dilaksankan di rumah
3.
Hubungan kerja bebas
4.
Hubungan kerja berdasarkan panggilan
Pengertian
atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam
UU
No.13/2003, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah
hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau peminjaman pekerja (uitzenverhouding).[18]Meskipun pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan
perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya mengatur perlindungan
dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa
sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja di
perusahaan pengguna . (Pasal 65 Ayat (4) UU 13/2003)
Tidak
adanya jaminan kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam
hubungan kerja yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut
tiga pihak yaitu perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja.
Dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat
tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang
memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki
perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan
penyedia jasa. Konfllik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga
terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi.
Pada umumnya dalam beberapa kasus[19], Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcingyang meminta dipekerjakan kembali di
perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur
PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang
diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak
dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi
pekerja di perusahaan pengguna jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan
kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.
Pro
kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis
karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang
pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman
dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir
secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua
lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerjaoutsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang
sebenarnya dilarang oleh UU 13/2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah
menjadi rahasia umum jika pekerja outsourcing masuk,
ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama
bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.
Permasalahan
lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. UU No.
13/2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal
yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat
rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut.
Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan
sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi
pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih
mudah dihindari oleh perusahaan pengguna.
Bergantungnya
perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan
perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasaoutsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan
hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya
perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama
perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir
sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga
dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan
penyedia jasa.
Pasal
62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa,
apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/ buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab rendahnya
kedudukan baik pekerja kontrak maupun pekerja outsourcing yang
diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Sebab apabila di antara para
pihak terjadi putusnya hubungan kerja maka dikembalikan kepada aturan hukum
perdata biasa di mana pihak yang wanprestasi atau ingkar janji diwajibkan untuk
membayar kembali ganti kerugian.
Sebenarnya
konsekuensi apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja
berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja
kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun
dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja.
Akan
tetapi ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu
secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap
yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu serta ketentuan mengenai
pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi
pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal
dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengenai outsourcing, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi
selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru
dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut
dipekerjakan kembali. Hal tersebut tentu sangat merugikan pekerja, sebab status
dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi
pihak pekerja itu sendiri.
Sebenarnya
keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerjaoutsourcing. Berdasarkan pengamatan dan penelitian
penulis, hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan beberapa kemampuan dan
kompetensi pekerja outsourcing yang
rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari
perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau pelanggaran lain
yang merugikan perusahaan pengguna, maka perusahaan outsourcing yang
menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh karena tindakan pelanggaran
yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang
diterima perusahaan jasa outsourcing. Sulitnya memperoleh pekerja yang
berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih
menjadi masalah bagi pekerja outsourcing.
Keluhan
terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja
kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan
jasa dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan.[20] Sebagian
pekerja outsourcing ini
cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan bekerja secara outsourcing karena
kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.
C. Kesimpulan
Bekerja baik secara outsourcing, maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu
tertentu sebenarnya tidaklah selalu menyalahi ketentuan undang-undang atau
merugikan pekerja. Pada beberapa negara maju maupun negara berkembang lainnya,
kedudukan pekerja outsourcing sangatlah diperhitungkan dan mempunyai
posisi tawar (bargaining position)
yang menguntungkan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan di Indonesia, adalah
lebih besarnya jumlah lapangan kerja dibandingkan lapangan pekerjaan yang
tersedia, serta rendahnya tingkat kemampuan dan kompetensi dari pekerja itu
sendiri yang mengakibatkan para pekerja sulit mengadakan tawar menawar terhadap
jasa yang dimilikinya.
[1]Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ketua
Pusat Studi Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, makalah disampaikan dalam “Sosialisasi Kajian
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, “
Hotel Cikarang Inn, Cikarang, 13 Desember 2011
[2] Aloysius Uwiyono, “Dinamika Ketentuan
Hukum tentang Pesangon,” dalam http:// www.Hukumonline diakses
pada tanggal 9 Desember 2007. Faktor lain yang mempengaruhi dasar hubungan
kerja adalah berkembangnya model hubungan industrial yang dianut oleh negara
yang bersangkutan. Dalam hal ini terdapat dua model hubungan industrial
yaitu corporatist model dancontractualist model. Yang pertama suatu model
hubungan kerja di mana peran Pemerintah sangat dominant dalam menentukan
syarat-syarat kerja dan kondisi kerja (corporatist model) dan yang kedua model hubungan
industrial di mana peran Pemerintah sangat minim atau rendah(contractualist model). Selanjutnya Uwiyono menambahkan
bahwa terdapat peran hubungan industrial yang lain di mana peran serikat
pekerja sangat besar (multi union system).
[3]Indonesia masih menggunakan
dasar hukum dalam BW/KUH Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum
perburuhan mulai dari pasal 1601 a – pasal 1752 KUH Perdata
[4]Asas
kebebasan berkontrak mempunyai hubungan erat dengan asas konsensualisme dan
asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (Ayat 1) KUH Perdata.
Asas kebebasan berkontrak (contravijheid) berhubungan dengan isi perjanjian
yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Lihat
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit
Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir,
1993, hal. 105.
[5]UU No. 13/2003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh
atau dalam Pasal 1 Ayat (15) dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, dan Pasal 1 Ayat
(16) menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsure pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.
[6]Judge
Bartolome` Rios Salmeron, dalam General Report Social Dialogue Eight Meeting of European Labour
Court Justice, Jerusalem,
September 3, 2000 menyebutkan bahwa,”…it is not usual to find a legal concept of contract of employment,
although in some legal systems it can be deducted from the concept of employee,
which is legally defined, in spite of the fact that personnel scope of labour
acts may vary according to their objects. Mengutip British Statute Law dalamEmployment Rights Act (ERA) Section 230 (1)dinyatakan”…and a worker, who is working under a contract of employment or a
contract for services” (Section 230 (3).
[7]Bruce
E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment Relationship,New York : Industrial
Relations Research Association Series, 1998, 1st. ed. p.2.
[8]Dalam Labour Relationship in a Changing Environment, London : Cornell University , 1990, Alan Gladstone
mengutip Germany Civil Code, 1990,”……the civil code covers mainly fundamental aspects of employer
–employee relationship…, contains provisions concerning termination of the
labour contract.”
[10] Undang-undang Nomor 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, Pasal 50
[11]R.
Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta : Grhadika Binangkit
Press, 2004) Hal. 15
[13] R. Goenawan
Oetomo, Op.Cit., hal. 18.
[14]F.X. Djulmiaji,
Loc.Cit.
[15]“PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak
Pekerja,” diakses darihttp://www.pemantauperadilan.com pada 20
November 2007 .
[16]Pengertian atau
definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr Ani Wijayati, “Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang
No. 13 Tahun 2003,” dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta:
UKI Press, 2004, h.66.
[17]RR
Ani Wijayati, SH.MHum, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain (Outourcing) Dalam UU No. 13/2003”, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta,
UKI Press, 2004, hal.65.
[18]DR.
HP Radjagukguk,SH dalam “Kepastian Hukum Untuk Pekerja Sistem Outsourcing”,
Makalah hal. 20.
[19]Beberapa
kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor
menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT
Caltex Pacific Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan najikan mereka
sebagai perusahaan penyedia jasa, juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie
Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192 K/PHI/2007 yang memenangkan
termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak
memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya.
[20]Kasus
pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo Interaktif area Jawa Tengah
yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar