Di indonesia, sudah banyak terdapat kasus-kasus
pidana yang melibatkan para pejabat negara. Dari mulai kasus pembunuhan,
kejahatan seksual, penipuan, atau bahkan yang paling banyak yaitu masalah
korupsi. Dari sekian banyak tindak pidana tersebut, yang paling menyita
perhatian tentu saja kasus pembunuhan terhadap Direktur Utama PT. Rajawali Putra
Banjaran, yaitu Nazrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar.
Mantan Ketua
KPK Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan
yang kemudian dikuatkan di Pengadilan tinggi dan Kasasi di Mahkamah Agung. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati
yang sebelumnya dituntutkan kepadanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Antasari
Azhar didakwa melakukan pembunuhan berencana dan dijerat dengan Pasal 55 ayat
(1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP Pasal 340 dengan ancaman hukuman
maksimal hukuman mati.
Dari hasil vonis tersebut terlepas dari apa yang sudah diputuskan oleh
hakim, berbagai fakta selama persidangan dinilai belum terjawab dan masih menimbulkan
tanda tanya. Menurut Juniver Girsang, salah satu kuasa hukum Antasari Azhar
menyatakan bahwa banyak keganjilan yang belum terungkap.
Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Rani Juliani
menemui Antasari Azhar di kamar 803 Hotel Grand Mahakam Jakarta pada Mei 2008.
Pertemuan Rani dengan Antasari seizin Nasrudin dan bahkan diantar sampai lobby
hotel. Anehnya, sekitar 10 menit, Nasrudin menyeruak masuk kamar 803, memarahi
Antasari, dan menampar Rani sampai menangis. Mengapa Nasrudin mengantar Rani ke
hotel lalu merekam pembicaraan antara istrinya dengan Antasari? Mengapa
Nasrudin saat itu terkejut ketika melihat Rani bersama Antasari di dalam kamar?
Lebih lanjut,
dalam rekaman tampak sekali Rani Juliani begitu aktif berbicara alias posessif
ketimbang AA. Begitu juga
tidak ada intonasi kekerasan yang terjadi dalam rekaman tersebut. Benarkah
terjadi tindakan asusila jika pintu kamar hotel tidak dikunci (dan bahkan
terbuka)?
2.
Pertemuan dan Rekaman Sigid HW – AA
Dalam
pertemuan Antasari dengan terdakwa lain Sigid Haryo Wibisono di rumah
Sigid di Jl Pati Unus, Jakarta Selatan, Sigid HW merekam pembicaraan. Sama
dengan kejanggalan sebelumnya, untuk apa Sigid sengaja merekam pembicaraannya
dengan Antasari? Untuk apa pula merekam pembicaran dan gambar di rumah Sigid?
Bukankah ini sebuah jebakan?
3.
Rekayasa SMS Ancaman Seolah-Olah dari Antasari
Jika
dua fakta diatas lebih didasari oleh analisis logik, maka fakta ketiga
merupakan fakta yang sangat kuat menunjukkan adanya rekayasa menjatuhkan
Antasari Azhar. Adalah Agung Harsoyo, Pakar Teknologi Informasi ITB yang
membeberkan rekayasa sms ancaman Nasruddin yang seolah-olah berasal dari ponsel
Antasari Azhar.
Pak Agung Harsoyo merupakan seorang dosen
dan akademisi yang kredibel dan kepiawaiannya tidak perlu diragu lagi di Teknik
Elektro ITB. Pada 17 Desember 2009, Pak Agung Harsoyo menjadi saksi ahli dalam
persidangan kasus Antasari Azhar di PN Jakarta Selatan. Kala itu, dia
memastikan ponsel mantan ketua KPK tersebut tidak pernah mengirimkan SMS
ancaman kepada Nasrudin Zulkarnaen sebelum terbunuh. Padahal, jaksa mendakwa
Antasari mengancam melalui pesan singkat tersebut.
Jika diamati, dalam
perkara pembunuhan berencana terhadap Nazrudin Zulkarnaen ini, secara garis
besar para pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok eksekutor (Edo Cs),
penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard),
serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk). Dalam
membuktikan keterlibatan masing-masing yang berperan tersebut, diperlukan
korelasi antara para pelaku dan hal itu harus terbukti secara fakta persidangan
atau yang lebih tepat secara hukum formil, serta sesuai dengan hukum acara yang
berlaku. Hukum acara di Indonesia menganut hukum formil, karena itu pembuktiannya
dilakukan berdasarkan data atau bukti yang diajukan dalam persidangan. Bukti
tersebut, dikuatkan oleh dua alat bukti yang sah, bukan hanya sekadar petunjuk
atau indikasi.
Hal ini seperti yang
sudah dinyatakan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam Pasal 183 disebutkan bahwa Hakim
Tidak Boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa proses
pemeriksaan di pengadilan haruslah atas dasar dua alat bukti yang sah dan
berdasarkan keyakinan hakim. Tidak boleh didasarkan atas asumsi belaka. Karena
dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan.
Kita Lihat selanjutnya bagaimanakah proses PK kasus tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar