Melawan Kejahatan Berteknologi
Inovasi di bidang teknologi informasi
telah membuat manusia menjadi semakin terhubung satu sama lain dengan
mudah lagi murah. Jarak geografis dan berbagai penghalang konvensional
lainnya yang pernah menjadi penghalang kini menjadi kian tidak berarti.
Namun perkembangan di bidang teknologi informasi telah pula memberi
peluang baru bagi sebagian manusia untuk berbuat jahat, salah satunya
adalah penipuan via SMS (short messages service) sebagaimana kini makin
marak terjadi di tanah air. Mengaku-aku sebagai pejabat, panitia undian
maupun posisi lainnya yang ‘mentereng’, pelaku mengirim pesan pendek ke
nomor telepon seluler calon korban (yang bisa didapatkan secara acak)
yang pada intinya meminta transfer sejumlah uang atau pulsa. Setelah
korban melakukan pengiriman, barulah disadari bahwa nomor telpon
tersebut adalah nomor penipu. Diduga banyak yang ‘termakan’ SMS model
begini dan kerugian yang diderita korban konon mencapai puluhan juta
rupiah.
Dalam kasus SMS yang sekedar meminta
pulsa, jumlah kerugian yang relatif kecil barangkali tak membuat korban
begitu menderita dan akan dianggap sebagai keapesan belaka. Namun dalam
penipuan yang melibatkan uang dalam jumlah besar seperti, penyesalan dan
bahkan isak tangis tiada berkesudahanlah yang akan terjadi. Uniknya,
jika korban tergolong kalangan mampu, terdidik, dan terhormat biasanya
akan enggan melaporkan peristiwa yang menimpanya tersebut kepada polisi.
Rasa malu akan diketahui kebodohannya membuat angka kejahatan yang
tercatat terkait kasus ini jauh dari realitas yang sebenarnya terjadi.
Juga besaran kerugian yang tak terlalu besar dalam kasus penipuan pulsa
membuat orang enggan untuk menempuh jalur hukum.
Mengapa korban begitu naif dengan secara
serta merta mempercayai informasi yang belum tentu kebenarannya melalui
SMS? Mengapa di tengah derasnya berita mengenai penipuan entah itu yang
berkedok yayasan, surat pemberitahuan sebagai pemenang undian, tawaran
menjadi jutawan mendadak, seseorang tetap dapat dengan mudah ditipu
melalui pesan SMS? Tak lain karena harapan besar akan didapatnya
keuntungan yang relatif singkat telah begitu ampuhnya melemahkan
kemampuan korban untuk melakukan tindakan penghati-hati. Keuntungan di
sini tentu saja tidak melulu harus dimaknai dalam bentuk uang, akan
tetapi juga fasilitas, promosi jabatan, kesempatan berkarir, maupun
hal-hal lainnya yang menyenangkan. Terbuai oleh mimpi itu, ekspektasi
yang begitu besar membuat korban lalai untuk melakukan langkah
antisipasi dan penghati-hati. Dalam banyak kasus, tindakan korban yang
tidak mendasarkan pada akal sehat, tanpa kehati-hatian, dan kewaspadaan
berkontrubusi besar terhadap keberhasilan pelaku dalam melakukan
aksinya.
SMS tidak saja memudahkan orang untuk
berkomunikasi, kemudahan mana dimanfaatkan dengan baik oleh para
penjahat dalam mencari mangsa dengan metode trial and error. Jika satu
calon korban lolos, ia akan mencari nomor lain yang siapa tahu adalah
mangsa yang teledor dan mudah terninabobok dengan mimpi akan harta dan
kenikmatan lainnya. Demi mengamankan diri dari kejaran hukum, pelaku
akan secara teratur mengganti nomor kartu telponnya yang tak saja begitu
mudah dilakukan namun pula amat murah didapat. Kendati secara ilmu
pengetahuan tak mustahil untuk dilacak termasuk dengan menelusuri
identitas pemilik rekening bank, absennya penegakan hukum atas kejahatan
seperti ini menjadikan penipuan melalui SMS relatif beresiko kecil akan
terjerat hukum ketimbang kejahatan konvensional seperti penjambretan
misalnya. Sudah saatnya aparat penegak hukum terutama di daerah secara
serius melakukan pengusutan kasus penipuan melalui SMS dan berbagai
macam kejahatan yang memanfaatkan teknologi lainnya hingga tuntas. Kasus
sebagaimana terjadi baru-baru ini di Salatiga dimana pimpinan
kepolisian dicatut namanya seharusnya dijadikan tantangan untuk menumpas
kejahatan ini agar masyarakat merasa terayomi. Jika tidak dan bahkan
dibiarkan begitu saja, maka kejahatan seperti ini dipastikan akan terus
meningkat sekaligus menguatkan asumsi bahwa penegak hukum kita memang
hanya dipersiapkan untuk menangani kejahatan-kejahatan konvensional dan
tak berdaya manakala menghadapi kejahatan-kejahatan canggih yang
melibatkan teknologi.
Oleh : Manunggal Kusuma Wardaya S.H., L.LM
Sekarang sedang melanjutkan S3 di Belanda kajian Criminal International Law
Tidak ada komentar:
Posting Komentar